Tuesday, April 29, 2014

No Rain No Rainbow (Part 5)

<Ohno>

Kutatap jalanan sepi itu, mataku menerawang, pikiranku kosong. Aku benar-benar tidak bisa berpikir lagi. Tubuhku kehilangan seluruh tenaga, aku tak sanggup lagi berjalan. Aku tak tahu harus kemana. Bingung, sedih, gusar, marah, semua menjadi satu.

Drrrrtttttt

Getar ponsel yang sedari tadi kupegang membuyarkan lamunanku. Kulihat sebuah nama di layar :
Nino.

13 panggilan tidak dijawab.
Dan semuanya dari Nino.

Saat ini dia adalah orang yang paling tidak ingin kutemui. Pikiranku kalut, tidak tahu harus bagaimana. Melihat namanya di layar ponselku, ingatanku pun kembali ke sebuah kejadian yang tak akan kulupakan beberapa jam yang lalu.

......

"Riida, kamu mau langsung pulang?" Aiba memanggilku yang hendak menuju pintu lift.
"Un." aku hanya menjawab pendek.
"Hari ini riida nampak tidak bersemangat. Kenapa?" Aiba berlari kecil menghampiriku dengan wajah khawatir.
"Tidak apa. Aku cuma mengantuk." kilahku berusaha menyembunyikan hal yang sebenarnya agar Aiba tidak khawatir.

Tanpa menunggu jawaban Aiba, aku pun segera menuju pintu lift dan kutekan tombol untuk lantai paling bawah dimana manajerku menunggu di tempat parkir basement.
Syuting Arashi ni Shiyagare kali ini cukup malam, karena aku dan Aiba kebagian syutin untuk segmen 'Ii Mise Kudoi Mise' yang memang seringnya syuting di luar studio hingga larut malam. Setelah syuting selesai, kami berkumpul lagi di stasiun televisi untuk membicarakan beberapa hal, lalu pulang.

Kulihat mobil van berwarna putih tak jauh dari pintu lift ketika aku keluar. Udara basement parkir yang menusuk membuatku harus mengancingkan jaket dan berlari kecil menuju mobil yang sedang menungguku.

"Otsukaresama." sapa manajerku.
"Otsukare", jawabku pendek.
"Kita langsung pulang ke rumah?" manajerku bertanya untuk memastikan.
"Ng...aku mau mampir dulu ke suatu tempat." jawabku agak ragu.
"Kemana, Ohno-san?"
"Mansion Nino." jawabku pendek.

Sambil menunggu mobil van yang kutumpangi tiba di tempat tujuan, aku mencoba membunuh waktu dengan memainkan ponselku. Beberapa site info tentang cuaca dan arah angin yang kubaca membuatku jadi ingin pergi memancing. Meski musim ini cukup dingin, tapi cuaca dan angin cukup mendukung untuk memancing.

"Apakah hari ini mau membahas soal syuting minggu depan dengan Ninomiya-san?" suara manajerku di kursi driver menghentikan keasikanku bermain ponsel.
"Tidak. Hanya ngobrol sebentar. Kalau Katsumi-san mau pulang duluan, tidak apa. Aku bisa pulang pakai taxi." tawarku pada manajer.
"Ah, tidak apa. Saya bisa menunggu." jawabnya sambil tetap memerhatikan jalanan di depan.

Aku sebetulnya ragu ketika bilang akan pergi ke mansion Nino. Tapi entah kenapa ada suatu keinginan besar yang membuatku ingin bertemu dengannya, ingin membicarakan suatu hal, dan ingin melihat langsung wajahnya.

Aku masih belum tahu apa yang akan kukatakan nanti ketika bertemu dengan Nino. Aku bahkan tidak meneleponnya terlebih dahulu dan memberitahunya bahwa aku sedang dalam perjalanan menuju mansionnya. Siapa tahu Nino masih syuting dorama dan belum pulang.

Ah, kalau dia tidak ada di rumah, itu akan lebih baik untukku. Semoga.

........

"Matsuyama Kenichi?" tanyaku.
"Iya, kamu ingat kan? Itu yang main bareng denganku di film GANTZ." jawab Nino dengan semangat.
"Kalian pergi camping berdua saja?" tanyaku heran dan sedikit curiga.

Curiga? Entahlah, mungkin itu kata yang paling tepat. Begitu mendengar Nino pergi camping berdua dengan MatsuKen, rasanya aku merasa begitu insecure. Ada rasa tidak aman yang menelusup dan membuatku jadi tidak nyaman. Kalau pergi dengan Aiba, mungkin tidak aneh. Tapi dengan MatsuKen?

Dan lagi, Nino adalah tipe orang yang paling anti dengan aktivitas outdoor. Bahkan, dia selalu menolak ketika aku mengajaknya memancing, dengan alasan mabuk laut, menolak saat Jun mengajaknya surfing, menolak saat Aiba mengajaknya mengelilingi kebun binatang, dan menolak saat Sho memintanya menemani hiking ke gunung.

Tapi barusan, Nino dengan antusias bercerita kalau ia pergi camping dengan MatsuKen?!

"Sudah berapa lama?" aku bertanya tanpa basa-basi.
"Eh? Apa?" Nino kebingungan.
"Sudah berapa lama kamu berhubungan dengan MatsuKen?!" jawabku sedikit meninggikan suara dan maju beberapa langkah mendekati Nino.
"Eh? Aku tidak mengerti maksudmu, Riida." Nino memalingkan wajahnya dari pandanganku dan mundur beberapa langkah agar aku tak bisa mendekatinya.

Kebiasaan Nino adalah selalu tidak mau menatap orang di depannya ketika ia menyembunyikan sesuatu, apalagi dengan gesture ia mundur menjauhiku, itu artinya Nino tidak ingin aku bisa meraihnya dan memasuki privasinya. Itu yang pernah kudengar dari Sho.

"Kenapa? Kamu tidak suka lagi padaku? Kamu sudah bosan, Nino?" aku mencoba menenangkan suaraku agar terdengar datar.

Nino tidak bergeming.

"Jawab, Nino! Apa saja yang sudah kamu lakukan dengan MatsuKen?!" akhirnya kesabaranku hilang, "Aku sudah curiga semenjak kalian syuting bersama dalam film GANTZ. Kedekatan kalian tidak biasa, tidak lazim." ungkapku.
"Memangnya kedekatanku denganmu bisa dibilang biasa? Bisa disebut lazim?!" sanggah Nino.

Aku terdiam.

"Tapi...tapi, aku tulus. Aku bersungguh-sungguh, Nino." aku memelas
Nino tidak menjawab.
"Lagipula....MatsuKen sudah menikah dengan Koyuki, bukan? Kamu mau menghancurkan hubungan mereka?" nampaknya kata-kataku cukup menohok perasaan Nino.

Nino hanya menatapku dengan sorot matanya yang tajam. Sorot yang menyeramkan yang tidak akan ditemukan dalam aktinynya di film manapun.

Tanpa berkata apa-apa, Nino pergi meninggalkanku dan sejak saat itu aku tidak bertemu lagi dengannya.

............

"Sudah sampai." suara manajerku dari kursi depan lagi-lagi membuyarkan lamunanku.
"Oh, iya. Thanks. Katsumi-san pulang saja duluan." pintaku.
"Tapi..." manajer nampak ragu-ragu meninggalkanku.
"Tidak apa. Tenang saja, kalaupun kemalaman, aku bisa menginap di mansion Nino. Nanti kukabari lagi." jawabku berusaha menenangkan manajer. Walaupun nampaknya mustahil aku akan menginap di mansion Nino mengingat kejadian beberapa hari lalu itu.
"Baiklah. Selamat malam." manajer pun melesat pergi.

Kalau saja aku bisa memutar waktu, inginku kembali ke hari-hari dimana aku dan Nino selalu bersama. Kalau saja manajerku masih menungguku di depan mansion, mungkin aku akan mengurungkan niatku untuk pergi ke mansion Nino. Meski kini aku telah berada di depan pintu mansion dan tinggal kutekan bel, maka Nino mungkin akan keluar.

Itupun kalau dia masih mau bertemu denganku.

"Are? Ohno-kun?" suara seorang pria dari belakang mengagetkanku.
"Ryo-kun" ternyata Nishikido Ryo yang tadi memanggilku.
"Konbanwa." sapanya sopan, "Nino? Kebetulan aku juga baru saja dari mansion Nino, mengembalikan game yang kupinjam."
"Konbanwa." jawabku, "Iya, aku baru saja mau menekan bel."
"Errr, mungkin Nino sudah tidur. Sebaiknya kau datang besok saja." Ryo nampak ragu.
"Kenapa?" tanyaku heran.
"Ah, tidak. Lebih baik besok saja. Siapa tahu Nino sedang tidak mau diganggu. Ya? Ya? Ya?" gelagat Ryo semakin membuatku curiga.
"Kenapa sih? Aku mau ketemu sekarang." tukasku ketus.
"Tapi...tapi..." Ryo yang melihatku hampir mengetuk pintu tiba-tiba berdiri di depan pintu mansion dengan menghadap ke arahku. Seperti mencoba menghalangiku untuk masuk.

"Kamu kenapa sih, Ryo-kun?!" aku menghardik Ryo dan berusaha meraih kenop pintu agar bisa masuk, meskipun ragu karena pintu itu bisa saja dikunci.
"Oke. Oke. Tidak apa. Kita masuk sama-sama ya. Aku juga kebetulan mau mengambil barang yang ketinggalan." akhirnya Ryo menyerah dan membukakan pintu yang ternyata memang tidak dikunci.

Ryo masuk ke koridor mansion setelah sebelumnya melepas sepatu sneaker-nya dan aku ikut mengekor Ryo hingga ruang tengah.

"Eee, Nandeeee? Yada yooo" kudengar suara Nino yang manja di ruang tengah, seperti sedang berbicara dengan seseorang.
"Hahaha, Nino cute deh.." suara bariton yang kukenal menjawab candaan Nino. Aku sedikit berpikir untuk mengingat-ngingat suara milik siapa barusan.

"Ng...kalian....It's not good..." Ryo berhenti di ruang tengah sambil menatap Nino dengan seseorang pemilik suara bariton tadi.

Matsuyama Kenichi.

Aku ingat! Suara bariton itu milik MatsuKen yang artinya.....dia sekarang ada di sini, di mansion Nino, berdua saja, dan tengah malam.

Kulihat Nino dan MatsuKen duduk berdua di sofa; Nino mengecup bibir MatsuKen begitu mesranya. Seperti sepasang kekasih yang begitu intim.

Kepalaku terasa berat dan bagaikan disambar petir meihat pemandangan menyakitkan itu. Aku memang sudah tahu kalau Nino selingkuh dariku dan berhubungan dengan MatsuKen. Bahkan yang paling buruk, aku sering membayangkan Nino dan MatsuKen berduaan di mansion, tengah malam, bercumbu atau mungkin tidur bersama.

Tapi, ketika aku menyaksikannya secara langsung, entah kenapa dunia sekelilingku menajdi gelap.

"Riida..." Nino hanya menatapku.
"Nino, kau....teganya....." aku ingin marah tapi hanya kata-kata itu yang keluar dari bibirku.

Marah, kesal, sedih semua bercampur satu. Ingin rasanya kuteriakkan semua amarahku pada mereka berdua sejadi-jadinya, tapi entah kenapa tenagaku hilang. Semua kata-kata dan umpatan yang kusiapkan seperti menguap entah kemana.

Lunglai, aku membalikkan badanku dan meninggalkan mansion Nino dengan langkah terseok-seok. Tidak ada air mata setetespun yang keluar, aku benar-benar tidak berdaya.

"Ohno-kun!" Ryo berusaha mencegahku pergi tapi segera kutampik tanganya dan pergi meninggalkan mereka semua.

........

Drrrttttttt

Lagi-lagi ponselku bergetar. Nino. Dia menelepon lagi.
Tidak ada sedikitpun keinginan untuk mendengar suaranya saat ini, apalagi setelah kejadian tadi. Aku masih duduk sendiri di tengah taman, setelah keluar dari mansion Nino. Tidak ada keinginan untuk pulang. Aku bingung apa yang harus kulakukan.

Drrrtttttt

Kali ini sebuah e-mail masuk. Apa Nino lagi? Kenapa sih dia? Apalagi yang mau dibicarakan? Sudah jelas-jelas kan aku melihatnya langsung tadi dia berduaan dengan MatsuKen.

MatsuJun.

Nama pengirim e-mail itu membuatku mau tak mau membuka e-mail yang tadi masuk ke ponselku.

Riida, kamu sudah di rumah? Sudah tidur ya? Tadinya aku mau menelepon, tapi takut kalau kamu sudah tidur. Ada yang ingin kubicarakan soal koreografi yang kemarin.

Seperti mendapat secercah harapan, aku langsung menelepon MatsuJun. Ya, saat ini aku butuh berbicara dengan seseorang, dan MatsuJun-lah orang yang tepat.

Kucari namanya di dalam daftar kontak, lalu kutekan tombol "Call". Terdengar beberapa kali nada sambung sebelum akhirnya diangkat.

"Riida? Hey, kamu belum tidur? Maaf mengganggummu." tanya suara ramah di seberang sana.
"Kamu di mana?" tanyaku.
"Di rumah sih. Kenapa?" jawabnya.
"Aku kesana, boleh?" pintaku.
"Huh?" Jun terdiam sesaat, "Ya sudah, boleh sih. Ada apa Riida?"
"Aku ke sana sekarang ya. Jya ne."
"Ok." kata laki-laki beralis tebal itu.


(Haruskah mereka berakhir......?)



"Astaga...Riida!" MatsuJun bengong menatapku saat ia membuka pintu rumahnya, "Kamu parah sekali....masuk."

Dengan sopan MatsuJun mengantarku hingga ke kamarnya dan menutup pintu.

"Duduk dulu, sebentar aku buatkan minum ya." Ia menuntunku ke arah sofa di kamarnya kemudian keluar kamar untuk mengambilkan segelas teh hangat untuk menenangkanku.

"Minum dulu, Riida." Jun menyodorkan mug berisi ocha hangat yang masih mengepul. Tercium aroma green tea yang pekat namun menenangkan. Kusesap perlahan teh tersebut.

MatsuJun memerhatikanku dengan prihatin, alis tebalnya bertautan. MatsuJun duduk tepat di sebelahku. Ia mengenakan T-shirt putih dengan beberapa gambar abstrak di depannya dan celana panjang katun garis-garis berwarna hitam. Terdengar suara berita tengah malam dari televisi ruang tengahnya.

"Kamu tidak kemana-mana?" tanyaku.
"Nggak. Aku habis syuting dorama, capek. Jadi di rumah saja." jawabnya tanpa melepaskan pandangannya dariku. Kemudian ia menggeleng-gelengkan kepala.

"Kenapa? Aku terlihat menyedihkan, ya?" aku memaksa diriku tersenyum. Aku yakin pasti wajahku saat ini kusut tidak karuan, seperti hidup segan mati tak mau. Semua kekalutanku pasti tergambar jelas di wajahku. Apalagi seorang MatsuJun yang kukenal sangat care dan memperhatikan hal-hal yang detail, pasti keadaanku tidak akan luput darinya.

"Nggak. Biasa aja." MatsuJun mengangakat bahunya. "Ada apa, Riida?"

Aku menghela napas panjang. Kembali kusesap green tea dari mug yang kugenggam. Aku sudah lebih tenang sekarang.

"Nino?" tembaknya.

Aku mengangguk. Pikiranku kembali melayang pada kejadian saat di mansion Nino beberapa waktu lalu. Bagaimana kulihat Nino begitu mesranya bersama MatsuKen. Tiba-tiba mataku memanas dan kurasakan cairan hangat mengalir di pipiku.

Jun mengambil mug di tanganku, meletakkannya di atas meja. Setelah itu ia merentangkan tangannya dan dalam sekejap aku telah tenggelam dalam pelukan hangatnya. Air mataku  membanjiri, aku mulai tersedu-sedu.

"Menangislah, Riida. Menangislah sepuasmu, tumpahkan semua kesedihan dan kemarahanmu." Jun mengelus punggungku dengan lembut.

Jun memundurkan tubuh untuk menatap dan memerhatikanku.

Kami bertatapan lama. Kucondongkan tubuhku ke arah wajahnya, dan kukecup perlahan bibirnya. Ia berusaha mencegahku, tapi aku tidak mau melepasnya. Sejurus kemudian, kami telah berciuman dengan hangat, mungkin lebih tepatnya aku yang memaksanya seperti itu. Seluruh tubuhku sangat merindukan sentuhan-sentuhan lembut seperti ini.

Ciuman hangat dan lembut bersama MatsuJun, semakin lama semakin membuatku bergairah. Irama gerakan kami yang perlahan membuatku semakin tidak sabar, aku pun mendorong Jun hingga terlentang di atas sofa; lalu aku berlutut dengan perutnya di antara kedua kakiku.

"Hey, jangan, Riida...Stop, aku..." 

Tak kupedulikan ucapannya, kubungkam bibirnya dengan ciuman. Kulumat bibirnya dan mendorong lidahku, tercium aroma kopi. Aku memaksa Jun untuk mengikuti apa mauku. Napasku mulai terengah. Lama kelamaan Jun mulai mengikuti kecepatan gerakanku, ia mendekapku erat-erat, menekan punggungku, bagian depan tubuhku melekat sempurna, sehingga aku bisa merasakan seluruh lekuk serta tonjolan dari tubuhnya, dari dada sampai ke pangkal paha.

Tapi....

Jun memegang pipiku, dengan lembut menjauhkan kepalaku dari kepalanya, sehingga hidung kami kini bersentuhan. 

"Stop it, Riida." bisiknya lembut sembari terengah-engah.

"Kenapa? Ada yang salah?" tanyaku lirih setelah berhasil mengatur napas.

"Iya, ini salah." Jun mengusap kepalaku dengan lembut, lalu memberi isyarat agar aku menyingkir dari tubuhnya. Aku menurut dengan semakin banyak pertanyaan dalam kepalaku. Apa yang salah?

Jun duduk di sampingku, menatapku lekat-lekat. Aku tak bisa memahami apa yang kurasakan saat ini. Marah, sedih, benci, kecewa, sakit hati, semua campur aduk.

Setelah Nino mencampakkanku, sekarang MatsuJun menolakkku.

"Kenapa? Kenapa Jun? Kamu tidak menginginkanku?" tanyaku dengan suara parau.
"Ssshh." Jun meletakkan jari telunjukknya di bibirku. "Bukan. Bukan begitu."
"Jadi kenapa?"
"Riida, ini bukan saat yang pas. Kamu bingung, kamu sedang marah. Yang kamu butuhkan bukan ini. Belum yang ini, Okay?" ia mengelus-elus kepalaku dengan lembut. "Ceritalah, Riida. Ceritakan apa yang membuat kamu datang kesini."

Aku menarik napas panjang. Seluruh gairahku menguap seketika. Terbayang kembali kejadian di mansion Nino tadi.

"Aku...aku tidak tahu harus mulai cerita dari mana." isakku.
"Cerita saja, aku akan mendengarkan." jawab MatsuJun lembut.

Aku tahu, sebetulnya MatsuJun saat ini sedang dekat dengan Sho dan dia tidak mau mengkhianatinya, sehingga tadi dia menolakku. Atau, mungkin MatsuJun benar, bukan itu yang kubutuhkan sekarang ini. Entahlah mana yang benar, aku benar-benar tidak bisa berpikir jernih.

Kutatap wajah MatsuJun yang lembut. Dalam sekejap meluncurlah kalimat demi kalimat dari bibirku. Kuceritakan semuanya. Semuanya. Jun terus mendengarkanku, tanpa memotong sekalipun. Ia mendengar. Aku merasa nyaman, aku merasa diperhatikan dan dipedulikan.

Aku begitu merindukan seseorang yang memerhatikanku seperti ini.....


 (Ternyata Riida...kamuuu... *waktu sama Nino gitu nggak ya? plaakk*) 

”涙を溜めた 夜空の星 どこへ流れて 消えるのだろう
違う道を選んだけれど 声が 聞こえる気がするよ 君の”
(Air mata yang menggenang dan bintang di langit malam  kemanakah akan mengalir dan hilang
Meskipun kita memilih jalan yang berbeda, tapi aku bisa mendengar suaramu)
<Arashi - Tears>  



(Iyesssss, pair SatoJun mau diapain nih? Apa tetep setia aja sama Sakumoto ya? *smirk* 
Aiba masih pending nih, bingung mau diapain.....)

No Rain No Rainbow (Part 4)

<Sho>

"Ranselku masih di apartemenmu, nanti jam 5 sore kuambil ya." suara Jun di telepon terdengar lebih bersemangat daripada kemarin malam saat ia datang ke apartemenku untuk menginap.
"Oke. Aku sudah ada di rumah kok. Datang saja kapanpun." aku menjawab.

KLIK

Kulirik jam yang tergantung di dinding kitchen. Pukul 4.30. Setengah jam lagi MatsuJun akan datang untuk mengambil ranselnya. Kumasukkan beberapa sayuran segar, kol, lettuce, wortel, daun bawang dan beberapa lembar daging sapi tipis. Menu sore ini adalah Nabe.

Hujan rintik-rintik membasahi jendela apartemenku. Sudah 30 menit tapi hujan belum juga berhenti, maka kuputuskan untuk membuat nabe yang cocok disantap saat dingin dan hujan seperti hari ini. Kebetulan MatsJun pun akan datang jadi kami bisa makan bersama.

Aku mungkin tidak sepandai Jun dalam memasak, tapi untuk membuat nabe tidaklah sulit. Hanya perlu memotong-motong sayuran, memasukkannya ke panci nabe lalu menambahkan beberapa bumbu atau shoyu. Aku yang tidak terampil pun bisa membuatnya dengan mudah.

Setelah semua bahan makanan siap dalam panci nabe, kurapihkan meja di depan kitchen, kuletakkan kompor gas portable dan di atasnya panci nabe yang sudah siap kutumpangkan di atas kompor gas. Mangkuk kecil, rice cooker berisi nasi yang telah matang dan shoyu pun tak lupa kusiapkan. Sip! Tinggal menunggu MatsuJun.

Dari balik jendela apartemen, kulihat sosok MatsuJun keluar dari dalam taksi. Oh, cepat juga dia, pikirku. Kulihat Jun tidak membawa payung, dan tanpa dikomando aku pun bergegas membawakannya payung, melesat menuju pintu luar dan menjemput Jun yang berlari-lari kecil dari halaman apartemen menuju gerbang.

"Hai, Jun!" sapaku sambil membentangkan gerbang dan memberikan payung padanya. Karena di rumahku hanya ada satu payung, kami pun berpayungan berdua hingga memasuki gedung apartemen. Kami berdua langsung masuk menuju apartemenku.

Alih-alih langsung masuk, Jun malah berdiri di hadapanku. Titik-titik air hujan menempel di rambut dan keningnya.

"Hai, Sho-kun. Aku senang bisa cepat sampai dan bertemu denganmu." Pipiku sontak memanas dan entah kenapa perasaanku tidak karuan. Perasaan apa ini?

Kupikir Jun diam dulu di depan pintu apartemenku untuk mengeringkan bajunya yang sedikit basah oleh air hujan tadi. Aku terkejut karena tiba-tiba ia menarik tanganku masuk ke apartemen. Terpontang-panting aku mengikuti langkahnya.

Setelah kami di dalam ia menutup pintu, mendorongku ke tembok lalu menekanku dengan tubuhnya sehingga seluruh permukaan punggungku menempel sempurna pada tembok. Jarak wajah kami sangat sangat berdekatan, hingga aku bisa merasakan hembusan napasnya di wajahku. Jun diam untuk beberapa saat, ia hanya menatapku, lalu tersenyum memperhatikanku. Jantungku semakin berdebar-debar saat menanti apa yang akan ia lakukan.

"Ng....a-aku tadi bikin nabe. Ki-kita makan yuk." ujarku tergagap-gagap.

"Nanti saja."

"Tapi nanti keburu ding...."

Kalimatku menggantung; Jun membungkam bibirku dengan bibirnya. Aku bisa merasakan bibirnya mengisap lembut bibir bawahku; kemudian lidahnya yang lembut melesak masuk; bergerak-gerak, mencari lidahku. Tak perlu waktu lama bagiku untuk mengikuti irama ciumannya. Semakin lama gerakannya semakin cepat. Napasku mulai tersengal karena gerakan bibir dan lidah Jun semakin intensif. Ia memegang pinggangku dengan kedua telapak tangannya yang kokoh, sehingga perutku menempel di perutnya, dadaku menempel di dadanya. Tangan Jun mengelus-elus punggungku dengan penuh gairah, sehingga t-shirt bagian belakangku naik.

Jun melumatku tanpa ampun, membuat ujung-ujung jemariku seperti tersengat aliran listrik. Tubuhku memanas, padahal suhu diluar dingin dan hujan deras masih terus membasahi kota Tokyo.

"Sho." tiba-tiba Jun melepaskan bibirnya.

"Ya?" suaraku serak dan masih berusaha mencerna apa yang terjadi barusan.

"Maaf. Tapi aku tidak bisa menahannya. Apalagi ketika melihat wajahmu, aku...aku.....aku benar-benar...." Jun menundukkan kepalanya namun tangannya masih memegang lenganku dan aku masih belum bisa bergerak sedikitpun.

"Jun..." aku tidak mampu berkata-kata.
"Sho, aku....aku menyukaimu." Jun kembali menatapku. Tatapan yang lembut dan terasa begitu hangat.

Aku luluh dan hanya bisa tersenyum. "Aku juga".

.......

"Woooww, nabe!" Jun bersorak kegirangan melihat sepanci nabe yang telah mendidih di hadapannya. "Hujan-hujan begini memang paling pas menyantap nabe." Jun tersenyum ke arahku.
"Aku khusus membuatkannya untukmu." aku ikut tersenyum.
"Itadakima---su!" kami berdua mengatupkan kedua tangan dan bersiap menyantap nabe di hadapan kami.

......

"Kamu benar-benar akan pulang?" kuperhatikan Jun yang siap-siap mengambil ranselnya di samping tempat tidurku.
"Kenapa, Sho-kun? Kamu kesepian tanpa aku?" tanyanya genit sambil mengedipkan sebelah matanya, "Padahal baru semalam kita tidur berdua, Sho-kun sudah sebegitunya sama aku..." Jun tak henti-hentinya menggodaku.
"Bu...Bukan begitu tau! Aku hanya khawatir kalau-kalau masalah di rumahmu belum beres, nanti kamu makin frustasi." aku mencoba mengelak, "Dan lagi apanya yang tidur berdua?! Kita kan cuma tidur sebelah-sebelahan saja! Jangan salah paham ya!" napasku tersengal-sengal ssambil berusaha menyembunyikan wajahku yang mulai memanas.

"Hai' Hai'. Wakarimashita." Jun mendekat ke arahku dan menepuk-nepuk kepalaku dengan lembut, "Sho kalau lagi marah manis banget...hihi." dia malah cekikikan.
"Sudah, ah! Sana pulang!" aku membalikkan badanku dan berjalan menjauhi Jun yang masih tersenyum nakal.

Saat kupikir Jun sudah keluar dari apartemen, tiba-tiba tubuhku dipeluk dari belakang. Jun mulai menciumi belakang kepalaku bertubi-tubi. Lalu berpindah ke telinga; hawa hangat napasnya mengenai pipiku; bunyi hembusannya yang agak tersengal membuat bulu kudukku berdiri. Aku hanya diam saja sembari mengelus-elus lengan kokohnya yang melingkari bagian atas dadaku. Kupejamkan mata ketika ia mengarahkan ciuman ke leherku. Agak lama ia memainkan bibirnya di sana, memberikan kecupan-kecupan kecil yang sangat melenakan. Aku sangat menikmati apa yang dilakukan Jun padaku.

"Aku pulang dulu ya. Nanti malam kutelepon." Jun berbisik.


(Kalian ini pada ngapain siihhhh?!!  #ngiri #Eh) 



"I wanna feel your love 吹き抜ける その調べどこへ行く?
I wanna feel your love 抱きしめたいんだ 夢の中でも but you were mine"
(I wanna feel your love berhembus, kemana harusku pergi untuk mencarinya?
I wanna feel your love aku ingin memelukmu, meski di dalam mimpi but you were mine)
<Arashi - Sugar and Salt>



(Gara-gara kebanyakan nonton Shitsuren Chocolatier, jadinya ngebayangin MatsuJun kayak gitu dengan partner Sho *hadeuhh* Kenapa malah jadi kacau beginiiiiiii?! Ah, sudahlah yang penting saya puas lihat Sakumoto bersatu kembali. Yang lainnya nunggu giliran buat muncul yaa.)

Friday, April 25, 2014

No Rain No Rainbow (Part 3)

<Sho>

Seminggu berlalu sejak acara di rumah Jun bersama Aiba, Ohno dan Nino.
Sejak itu tidak ada lagi rasa kesal, dan aku pun nampaknya sudah tidak begitu meributkan soal hasil audisi, peran di film ataupun ambisiku menuju Hollywood. Memang sih, masih tersisa rasa penyesalan, tapi mungkin memang aku belum beruntung dan aku harus berusaha lebih keras lagi, pikirku menghibur diri.

Tidak hanya itu, selama seminggu ini Aiba, Ohno dan Nino seperti berusaha agar bisa lebih dekat denganku. Mereka jadi lebih sering ngobrol, makan siang bareng, ataupun sekadar pulang sama-sama. Jun pun tidak ketinggalan. Selain Aiba yang memang sudah kukenal baik, aku pun sedikit demi sedikit mulai mengenal mereka lebih dekat.

Terutama Jun, orang yang dulunya kuanggap hanya seorang Tuan Muda yang manja, ternyata tidak seluruhnya benar. Diantara mereka berempat, ternyata Jun yang paling care. Dia selalu bisa memerhatikan hal sekecil apapun, selalu tahu ketika ada yang tidak beres diantara kami, dan selalu siaga memberikan obat atau apapun yang dibutuhkan ketika salah satu dari kami sakit atau memerlukan sesuatu.

Yah, walaupun terkadang sifat seenaknya layaknya Tuan Muda muncul. Atau keegoisan dan sedikit arogan pun tidak luput dari Jun. Well, tidak ada manusia yang sempurna, bukan.

"Yo! Ohayo." Jun menepuk pundakku, membuyarkan lamunanku pagi itu yang sedang membereskan beberapa buku dan surat kabar di dress room kami.
"Oh, Matsujun. Ohayo." balasku sambil tetap sibuk membereskan dan memasukkan beberapa buku ke dalam tasku.
"Sho-kun, pulang syuting Arashi ni Shiyagare nanti kamu ada acara?" tanya Jun sambil duduk bersila di sebelahku.
"Hmmm, tidak ada. Paling tidur di apartemen. Hari ini tidak ada schedule untuk News Zero" jawabku seraya menutup resleting tas dan ikut duduk bersila di hadapan Jun.
"Nonton yuk." tanpa basa-basi Jun mengajakku dan menatap lekat-lekat ke arahku.
"Eh? Nonton apa?" tanyaku.
"Hmmm, apa aja deh. Kalau Sho-kun nggak mau nggak apa-apa sih, kita bisa makan bareng atau cuma sekadar jalan-jalan pun oke, " Jun tersenyum ke arahku "Yang penting pergi sama Sho-kun" ia menambahkan.
Entah kenapa wajahku tiba-tiba memerah dan panas mendengar kata-kata Jun dan aku hanya bisa menanggukkan kepalaku perlahan.

.......

Sore itu kami menghabiskan waktu berdua, nonton, makan steak, jalan-jalan seputaran mall, mencari buku bacaan, dan menjelang malam kami nongkrong di atap mall sambil meneguk kopi dingin dan memandangi langit cerah malam itu.

"Sho-kun capek?" Jun memulai pembicaraan.
Aku hanya menggeleng sambil tetap melihat ke atas langit.
"Terima kasih sudah menemaniku ya." Jun tersenyum.
"Sama-sama. Kupikir awalnya kamu orang menyebalkan, tapi ternyata lumayan asik." balasku.
"Lumayan? Yaahh, masih level lumayan ya..." Jun pura-pura kecewa.

Kami pun tergelak tertawa bersama-sama.

"Seperti kencan ya." kata-kata Jun entah kenapa membuat jantungku berdegup kencang. "Pantas saja, Aiba selalu bersemangat kalau cerita tentang Sho-kun, ternyata kamu memang menyenangkan ya." Jun memujiku dengan tulus.
"Eh, nggak juga..." jawabku tersipu.

TERSIPU?! Whaat?! Kenapa aku malah jadi malu-malu? Lagipula yang bilang kan seorang MatsuJun. Cowok teman satu grup-ku. Sekali lagi : cowok teman satu grup-ku! Kenapa aku malah tersipu seperti sedang dipuji oleh pacar sendiri. Dan aku semakin tidak karuan ketika menyadari wajahku bertambah panas.

"Aaarrghh!!" aku mengacak-acak rambutku.
"Kebiasaanmu selalu begitu ya, mengacak-acak rambut kalau sedang bingung atau kesal." Jun bergumam.
"Eh?! Ah, tidak. Aku tidak bingung kok, apalagi kesal. Cuma kebiasaan...haha." aku mencoba menyembunyikan wajahku yang memerah.

Setelah puas nongkrong di malam hari, kami pun memutuskan untuk pulang.

(Nempel terus sama Jun, Aiba dikemanain....?)



<Jun>

Aku menarik napas panjang.
Padahal hanya beberapa inchi di depanku, tetapi entah kenapa tubuhku rasanya berat sekali. Tak bisa kugerakkan sedikitpun. 

Aku kembali menarik napas.
Kukumpulkan semua keberanianku. Pintu berwarna merah bata di depanku yang terlihat seperti layaknya pintu apartemen biasa, kini terlihat bagaikan sebuah gerbang tinggi besar yang mustahil kubuka. Papan bertuliskan 'Sakurai' di samping pintu semakin membuatku berdebar-debar tidak karuan.

Akhirnya setelah menarik napas beberapa kali dan memastikan tidak ada siapapun di sekitar apartemen itu, kuberanikan diri menekan bel.

PING PONG

Hening sejenak. Tidak ada jawaban apapun. Tidak ada tanda-tanda kehidupan di balik pintu apartemen yang belnya tadi kutekan. Mungkin si pemilik rumah sedang keluar. Pastinya. Apa sih yang kupikirkan, Sho itu kan selebriti terkenal yang punya banyak schedule. Mulai dari liputan berita olimpiade, News Caster, belum lagi beberapa dorama dan juga persiapan film. Mana mungkin dia ada di rumah sore-sore seperti ini.

Ketika kuputuskan untuk berbalik dan kembali pulang, aku mendengar suara yang tak asing di balik pintu.

"Iyaa, sebentaar." suara Sho dari balik pintu.
Nampaknya ia berlari-lari menuju pintu.

KLIK

Terdengar suara kunci dibuka dan beberapa detik kemudian, pintu apartemen berwarna merah bata itu terbuka perlahan dan kulihat wajah serta sosok yang tak asing dan tak sabar ingin kutemui hari itu.

"Oh! MatsuJun! Ada apa?" Sho terlihat kaget dengan kedatanganku yang tiba-tiba. Ia nampak lebih kaget lagi ketika melihat tas ransel besar yang bersandar di pundakku.
"Yo! Maaf aku datang tiba-tiba. Aku mengganggu ya?" jawabku dengan ragu.
"Iie, zenzen. Douzo." Sho mempersilakanku masuk dengan ramah.
"Ojamashimasu" aku melangkahkan kakiku menuju apartemen Sho.

Sebuah aparteman sederhana dan cukup rapih untuk seukuran cowok yang tinggal sendiri. Aku tahu Sho bukan dari kalangan berada, dan walaupun ia kini sudah mampu membeli mansion mewah di pusat kota, Sho bukanlah orang yang suka menghambur-hamburkan uang. Ia merasa cukup tinggal di apartemen sederhana asalkan bersih dan tenang.

Setelah melepas sepatu dan menyimpannya di rak, aku berjalan mengikuti Sho menuju ruang tamu yang menyatu dengan ruang TV. Sebuah sofa lebar berwarna coklat susu dengan meja kaca yang bersih dan tergeletak sebuah majalah berbahasa inggris dan koran sore di atasnya. Tampak sebuah televisi berukuran 42 inchi dalam kondisi tidak dinyalakan. Pasti Sho sedang asik membaca berita-berita di koran dan majalah, pikirku.

Dia mempersilakanku duduk di sofa empuk berwarna coklat susu itu.
Kuletakkan tas ransel di samping sofa dan menatap Sho yang menuju dapur untuk menghidangkan teh.

"Sho-kun..." aku tak melepaskan pandanganku dari Sho.
"Ng, nani?" Sho menjawab sambil memasukkan beberapa potongan daun teh ke dalam teko keramik kecil.
"Aku...." aku tak melanjutkan kata-kataku dan manghampiri Sho menuju kitchen.
"Kenapa?" Sho menghentikan aktivitas menyeduh tehnya dan menatapku.
"Boleh aku menginap disini malam ini?" jawabku pelan.
"Menginap? Ada apa MatsuJun?" Sho terheran-heran.
"Ah, tidak. Tidak jadi. Aku di hotel saja. Pasti mengganggu ya. Kamu kan perlu privasi. Maaf, maaf. Aku meminta yang tidak-tidak." Aku tergagap.
"Jangan-jangan, ransel itu..." Sho tidak meneruskan kata-katanya.
"Sebenarnya, aku sedang tidak ingin pulang ke rumah. Kau tahu, ayahku kemarin pulang dan seperti biasa, kami tidak akur. Pembicaraan mengenai penerus Matsumoto Enterprise saat makan malam membuatku tidak ingin kembali ke rumah untuk sementara waktu." Aku menjelaskan panjang lebar.

Sho hanya menatapku, tanpa berkata sedikit pun.

"Sou desuyo ne---. Aku pasti mengganggumu. Maaf, aku mau cari hotel saja. Oia, tehnya tidak usah. Ja ne." aku buru-buru mengambil ranselku dan pergi menuju pintu keluar.
"Matte...." Sho menarik tanganku dan menatapku dengan matanya yang bulat. "Disini saja. Kamu boleh menginap di apartemenku." Sho tersenyum.
"Eh, tapi...Aku tidak mau menyusahkanmu." aku mencoba menolak dengan halus, tapi tangan Sho seperti tidak mau melepaskanku.

Sho menggeleng.
"Apanya yang menyusahkan? Aku senang kok ada temanku menginap. Lagipula aku kan tinggal sendiri, tidak akan ada yang protes, kan? Ayo sini, simpan ranselmu di sini." Sho melepas ransel yang bersandar di punggungku dan meletakkannya di samping tempat tidurnya.
"Benarkah?" aku masih tidak percaya.
"Aduuhh, MatsuJun. Kamu ini kayak ke siapa aja deh. Tidak usah sungkan. Anggap saja rumahmu sendiri." Sho kembali ke kitchen untuk menuangkan air panas ke dalam teko keramik yang tadi sempat tidak jadi.

"Aku mungkin tidak tahu apa-apa soal masalah keluargamu dan tidak bisa membantumu, tapi kamu bisa menginap disini dan aku akan mendengarkan ceritamu." Sho memberikan secangkir teh hangat dengan aroma peppermint yang lembut kepadaku.
"Arigato, Sho-chan." aku tersenyum.
"Yang boleh panggil Sho-chan cuma Aiba, tau!"protes Sho.

Kami pun tertawa terbahak-bahak.

..........

"Tempat tidurku hanya satu, kamu tidak keberatan kan tidur berdua denganku?" Sho bertanya sambil merapikan sprei di tempat tidurnya. "Atau aku bisa tidur di sofa kok." Sho menambahkan.
"Tidak apa. Kita kan bisa sambil ngobrol sebelum tidur." aku tersenyum.
"Okay" Sho kembali sibuk merapikan spreinya.

"Uwaaahh, kimochi!!" Sho merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur dengan posisi terlentang.
"Capek, ya Sho-kun?" aku melepaskan sandal rumah dan naik ke atas tempat tidur.
"Lumayan. Kayaknya malam ini aku bakal tidur nyenyak." Sho menggeliat.
"Oiya, besok pagi mau sarapan apa? Nanti kubuatkan sarapan, tinggal pilih. French toaster, scramble egg, salad, kopi pahit atau...." aku tak meneruskan kata-kataku begitu melihat Sho yang sudah terlelap di sampingku.

Terdengar suara dengkur halus. Kumatikan lampu kamar, tapi aku masih bisa melihat wajah Sho yang diterpa cahaya dari lampu di luar jendela apartemen. Ia begitu tampan dan entah kenapa terlihat manis untukku. Mungkin wajah polosnya ketika tidur menjadikannya nampak cute di mataku. Sho masih sama seperti beberapa tahun yang lalu ketika kami pertama kali bertemu, ketika masih di Jhonny's Junior, walaupun kini wajahnya lebih dewasa dan semakin tampan, namun wajah polos dan kulitnya yang halus tidak berubah. Alisnya tidak begitu tebal, bibirnya penuh dan kemerahan.

Wajah itu sangat tenang; ia tidur nyenyak. Perasaanku tiba-tiba campur aduk melihat sosok Sho yang tidur di sebelahku. Aku merasakan kenyamanan dan kehangatan yang selama ini belum pernah kurasakan. Ingin rasanya aku mengelus kepalanya perlahan, mencium keningnya dan memeluknya erat. Tapi kuurungkan niatku, mengingat Sho pasti akan terkejut setengah mati jika aku benar-benar melakukannya.

Kuulurkan tanganku untuk menyentuh pipinya yang halus dengan perlahan.

"Kenapa, MatsuJun?" Sho terbangun dan nada keheranan terdengar dari suaranya yang parau.
"Nggak apa-apa" aku menggeser tubuhku dan siap-siap untuk tidur. "Oyasumi".

Aku pun merebahkan tubuhku dan menarik selimutku hingga dagu.

......

Dua butir telur kubuat menjadi scramble egg, salad dengan minyak zaitun dan kopi pahit dengan aroma yang lembut kusiapkan di dalam mug kesayangan Sho. Aku sudah terbiasa menyiapkan sarapan sendiri, meskipun pelayan di rumahku selalu memintaku agar mereka yang menyiapkannya. Sehingga, menyiapkan sarapan untuk Sho bukanlah hal sulit dan tidak membuang waktu banyak.

Lalu aku mandi.

Sho terbangun ketika aku menonton Zoom In di Televisi. Kudengar suara keran di kamar mandi, lalu Sho duduk di sampingku. Tercium aroma pasta gigi yang segar dari Sho.

"Ohayo, Sho." sapaku.
"Ohayoohuaheemmmm" Sho menggeliat. Aku tertawa cekikikan melihatnya.
"Sarapan sudah siap. Maaf tadi aku menggunakan dapurmu seenaknya." kataku sambil menyodorkan kopi kepada Sho.
"Eh, kamu sampai membuatkanku sarapan? Uwaahhh, keren banget. Aku biasanya sarapan dengan kopi saja, atau roti sisa kemarin. Tapi ini...uwaahhh, ada scramble egg dan salad juga!" Sho kegirangan dan tanpa dikomando ia segera melahap sarapannya.
Aku hanya tersenyum melihat Sho yang kegirangan.
"Hamu hengga uhah rehot-remhopp, HasuHun." Sho berbicara dengan mulut penuh salad.
"Kamu bicara apa, sih? Habiskan dulu itu makananmu, nanti tersedak lho." kataku sambil tetap menahan tawa.

Benar-benar kulihat sosok Sho yang lain di pagi itu. Sho yang selalu tenang dan elegan, kini seperti anak kecil yang baru diberi permen oleh orang tuanya.

"Maksudku, kamu nggak usah repot-repot MatsuJun." Sho mengulang kembali kata-katanya setelah menelan habis makanan di mulutnya.
"Tidak apa. Aku kan sudah diizinkan menginap di apartemenmu, jadi sebagai balasannya aku membuatkanmu sarapan."

Sho hanya tersenyum.

 (Makin deket aja mereka....)


”このままもっと 同じ想いで変わらぬ愛を
ありふれた日々に記してゆく I Love You
このままもっと この先ずっと 笑っていて欲しい”
(Perasaan yang sama, cinta yang takkan berubah, teruslah seperti ini
Kutuliskan dalam I Love You dalam hari-hari
Sekarang dan seterusnya, aku ingin kau tetap tertawa, terus seperti ini."
 
(Hadeuuhhh, mau diapain duo ini....? Aiba nampak tersisihkan..hix )








No Rain No Rainbow (Part 2)

<Sho>

BRAAAAKKKK!!

Kubanting pintu kamar dan kuhempaskan tubuhku di tempat tidur. Kuambil bantal di sebelahku dan kulempar sekuat tenaga ke arah tembok kosong di depanku.

"Sialaaann!! Matsumoto Jun sialaaaann!!!" aku berteriak sejadi-jadinya menumpahkan kekesalanku.

Orang yang paling kubenci dan tak ingin kulihat wajahnya kenapa malah kebetulan bertemu di jalan? Dan dia malah sok akrab dengan menyapaku, sok senyum-senyum ramah, sok memujiku. Apa maunya sih Tuan Muda Menyebalkan itu?

Aku tidur terlentang sambil menatap langit-langit kamarku. Sedikit demi sedikit rasa kesalku mulai berkurang. Aku terlalu lelah untuk marah-marah. Semua tenagaku terkuras gara-gara audisi minggu kemarin. Aku kurang tidur, makan seadanya, ah sudahlah semakin kupikirkan malah semakin capek.

Aku sebetulnya tidak bermaksud berteriak dan marah-marah pada Jun di jalan tadi. Aku bahkan tidak tahu darimana aku yang begitu lelah dan tidak bersemangat ini bisa punya kekuatan untuk berteriak di hadapan Jun.
Entahlah, setiap kali aku melihat atau bertemu Jun, aku selalu merasa mendidih dan timbul kekuatan yang entah dari mana datangnya. Mungkin kekuatan dari rasa benciku pada mahluk satu ini.

Krriiiiingggg

Suara ponselku membuyarkan lamunanku.
Masaki.
Sebuah nama yang tak asing tertera di layar ponselku.

"Ya, halo Aiba-chan" tanpa menunggu lama aku langsung mengangkat telepon dari sahabatku itu.

"Nee, Sho-chan kau lagi apa?" tanpa basa-basi Aiba langsung nyerocos, yah begitulah Aiba.
"Lagi napas." jawabku pendek dan datar.
"Hahaha, Sho-chan bisa aja. Kirain lagi ngedip." Aiba membalas guyonanku. "Nee, Sho-chan lagi nggak sibuk kan? Mau pergi denganku?" tanya Aiba.
"Kemana?"
"Nanti sore ada acara makan-makan, katanya sekalian buat melepas penat, apalagi kamu baru menyelesaikan audisi yang lumayan berat, kan. Sho-chan ikut yuk?! Kamu kan dari minggu kemarin belajar dan audisi terus, kita refreshing sejenak." ajak Aiba.
"Hmmm, boleh juga tuh. Bareng temen-temen yang lain?" aku memastikan.
"Iya, tapi nggak banyak sih. Cuma berempat atau berlima." Aiba menjelaskan.
"Makan-makan dimana? Restoran? Yakiniku?" aku membetulkan posisiku yang tadi berbaring menjadi duduk di atas tempat tidur.
"Ng....sebenarnya aku diundang salah satu member ARASHI. Jadi kita mau makan-makan di rumahnya." Aiba terdengar agak ragu.
"Oh, rumah siapa?" aku bertanya.
"MatsuJun" jawab Aiba pendek.

Mendengar namanya, langsung membuat mood-ku yang tadi sudah agak baikan tiba-tiba mendidih lagi. Baru juga aku ngamuk di depannya, masa sekarang harus pergi ke rumahnya. Oh, please.

"Nee, Sho-chan kau masih di situ? Gimana? Aku jemput ke apartemenmu ya? Aku......"

KLIK

Belum sempat Aiba meneruskan kata-katanya, aku segera menutup pembicaraan kami dan kulemparkan jauh-jauh ponselku ke sudut kamarku.

Aiba pasti kaget aku tiba-tiba menutup teleponnya dan sebentar lagi ia pasti akan meneleponku kembali. Aiba tipe yang suka memaksa, walaupun aku tidak keberatan sih, tapi kalau harus pergi ke rumah Tuan Muda Menyebalkan itu, bertemu muka dengannya lagi, apalagi harus berbicara dengannya....Ah, membayangkannya saja sudah membuatku ingin membanting semua benda-benda di sekitarku.

Aku hampir lupa kalau Aiba bersahabat dengan Jun sejak masih di Jhonny's Junior. Aiba selalu ceria dan care pada semua orang. Mungkin itu yang menjadikan mereka dekat.

Aku yang menyangka Aiba akan menelepon kembali dan memaksaku untuk ikut, ternyata tidak. Ponselku masih tetap di pojokan dan tidak ada satu panggilan ataupun pesan dari sahabatku itu. Mungkin Aiba ngambek gara-gara aku seenaknya memutuskan telepon, jadi dia tidak meneleponku lagi. Yah, baguslah kalau begitu.

Aku pun kembali merebahkan tubuhku di tempat tidur.

PING PONG

Suara bel mengagetkanku yang hampir terlelap. Jam menunjukkan pukul 15.20. Sekitar 10 menit aku terlelap. Dengan mata setengah tertutup aku berjalan menuju pintu. Uggh, siapa sih yang mengganggu tidur nyenyakku? Sudah berhari-hari aku tidak tidur nyenyak, sekarang malah diganggu.

Kuputar kenop pintu dan dengan sedikit memicingkan mata karena silau aku melihat sosok seseorang berdiri di depan pintu kamarku. Sesosok tubuh jangkung kurus dengan setelah t-shirt warna hijau muda dan celana jeans 7/8 yang memperlihatkan betisnya yang ramping.

"Sho-chan!" suara cempreng nan ceria yang tidak asing bagiku.

"Aaargh, Aiba! Kamu toh. Ganggu aja." jawabku agak ketus.
"Sho-chan, kamu tadi lagi tidur?" Aiba tidak menggubris umpatanku.
"Nggak, lagi koprol! Yaiyalah, lagi tidur. Kamu ini ya nggak bisa lihat orang relax sedikit aja." aku masih sedikit kesal.
"Nee, nee, nee, cepat ganti bajumu. Kita pergi sekarang." Aiba memaksa masuk ke kamarku sambil menarik-narik lengan bajuku. Gaya khas Aiba yang sedikit manja.
"Haahh? Kemana?" aku menoleh dengan malas.
"Ke rumah MatsuJun." jawab Aiba pendek.

Rasa kantuk teramat sangat yang tadi kurasakan tiba-tiba hilang ketika mendengar nama Tuan Muda menyebalkan itu. Bisa tidak sih sehari saja aku tidak mendengar namanya disebutkan di hadapanku?

"Tadi waktu aku telepon Sho-chan, teleponmu tiba-tiba mati. Kupikir baterainya habis atau tidak ada sinyal. Kebetulan aku sedang di dekat apartemenmu, jadinya aku datang langsung saja kesini untuk menjemputmu." ungkap Aiba panjang lebar.

Dasar Aiba polos. Padahal tadi aku sengaja mematikan teleponku supaya aku tidak mendengar rengekanmu yang memintaku datang ke rumah Jun. Tapi dia malah datang menjemputku.
Aku hanya bisa menarik napas panjang.

"Aku pass." jawabku pendek.
"Heee? Nande? Nande? Nandeeee?" Aiba memasang tampang keheranan yang sebetulnya cukup manis menurutku.
"Males ah. Aku capek, mau tidur." aku membiarkan Aiba menatapku keheranan.
"Ayolah Sho-chaaan. Ikut yuk. Kamu itu perlu refereshing, kita ngumpul bareng-bareng." Aiba merengek-rengek sambil memajukan wajahnya ke dekat wajahku, sehingga wajah kami hanya berjarak beberapa senti saja.

Bukan refreshing namanya kalau aku harus ketemu Tuan Muda Sialan itu, yang ada malah tambah frustasi, pikirku.

"Pergi saja sendiri." aku ngeloyor pergi menuju toilet, "Jun kan temanmu, bukan temanku. Kenapa aku juga harus datang?" aku setengah berteriak dari dalam toilet.
"Tapi, MatsuJun pengen kamu juga datang. Dia pengen ngobrol juga denganmu. Kan tidak apa-apa, jadinya tambah teman kan?" balas Aiba.
"Kamu tidak mengerti perasaanku, Aiba...." jawabku lirih sambil keluar dari toilet.
"E? Nani? Nani? Kamu bilang apa?" tanya Aiba dengan mata yang berbinar-binar, "Ayolaah, ikut ya Sho-chan. Please..." Aiba menatapku dengan wajah seperti anak anjing yang minta dikasihani. Dengan matanya yang berbinar-binar antusias dan begitu, ehem, cute menurutku.

"Uuuughhhh, iya deh iya! Aku ikut! Puas!?" akhirnya aku luluh dengan tatapan Aiba yang begitu manisnya.
"Terima kasih Sho-chan!!! Daisuki!" Aiba melompat kecil dan langsung memelukku.
"Lepasin, bodoh! Jangan main peluk-pelukan! Memangnya aku teletubbies?!" umpatku kesal sambil menyembunyikan wajahku yang memerah.

Tidak kurang dari 10 menit, aku pun telah siap untuk pergi ke rumah....ah, malas aku menyebutkan namanya. Demi sahabat baikku, aku rela bersabar untuk bertemu orang itu.
Semoga hari ini aku bisa bertahan untuk tidak ngamuk apalagi menghajar si Tuan Muda itu.

(My favorite pair)
<Jun>

"Eh? Kenapa? Mau datang nggak?" terdengar suara Nino dari beranda depan rumahku.

Aku sendiri sedang sibuk membuatkan pasta dengan topping mushroom untuk beberapa temanku yang akan datang hari ini. Nino sudah di rumahku sejak tadi siang, karena rumahnya yang paling dekat denganku dan dia minta aku untuk menemaninya bermain Mario Cart.

Kudengar Aiba juga akan datang, dan dia berencana mengajak Sho. Err, mungkin lebih tepatnya aku yang meminta Aiba untuk mengajak Sho datang ke rumahku. Kejadian tadi pagi di depan mini market masih agak mengejutkanku. Sakurai Sho yang tenang bisa ngamuk di tempat umum, lebih tepatnya di depanku, dan aku masih belum mengerti alasannya.

Semoga dengan mengajaknya ke rumahku, aku bisa banyak mengobrol dengannya dan meminta maaf kalau memang aku pernah berbuat salah padanya. Yang terpenting sih, semoga Aiba berhasil membujuk Sho datang ke rumahku, karena yang kutahu Aiba bersahabat baik dengan Sho. Mereka sangat dekat dan hanya Aibalah yang bisa ngobrol santai dengan Sho. Aiba juga sering bercerita kalau mereka suka nongkrong bareng, belajar akting sambil membahas peran bersama (walaupun aku ragu Aiba benar-benar belajar), bahkan pergi ke kampung halaman Aiba di Perfektur Chiba berdua saja.

Aiba satu-satunya orang yang berani memanggil Sho dengan sebutan 'Sho-chan', dimana semua orang yang kukenal hanya berani memanggil dia 'Sakurai-san'. Setiap kali Aiba bercerita tentang Sho, dia pasti bawel dengan memanggil-manggil 'Sho-chan itu...Sho-chan ini...'. Makanya tadi ketika aku kebetulan bertemu Sho, tanpa sadar aku memanggilnya 'Sho-chan'.

"Uwwaaahhh, umaso~~~" Nino yang tiba-tiba berada di samping mengagetkanku dari lamunan, "J, aku cicip sedikit ya." pintanya sambil mengedipkan mata.
"DAME! Sabar sedikit, Kazu! Tunggu sampai yang lain datang semua." tukasku dengan galak.
"Uuuhh, J pelit!" rajuk Nino sambil beringsut menuju lemari es tak jauh dari tempatku memasak. "Kenapa nggak suruh koki-kokimu saja yang masak sih, J?" Nino bertanya sambil mengambil teh dingin dari dalam lemari es.
"Ini kan acara bersama teman-temanku, aku ingin membuatkan sesuatu yang spesial untuk kalian. Lagipula kamu kan tahu sendiri, aku suka masak." aku menjawab sambil tetap sibuk mencampurkan beberapa bahan masakan ke dalam wajan.
"Hee---" Nino menanggapi dengan datar.
"Gimana Ohno? Tadi sudah ditelepon? Dia mau datang?" aku bertanya sambil tetap sibuk memasak.
"Yep! Dia mau datang, lagi di jalan katanya." jawab Nino pendek.
"Okay." aku tersenyum puas.

Berarti hari ini kelima orang dari kelasku, termasuk aku akan berkumpul untuk bersenang-senang. Aku, Nino, Ohno, Aiba dan semoga Sho pun datang. Rasanya tidak sabar menunggu mereka semua datang.

"Permisi, Jun-sama, Ohno-sama sudah tiba. Apakah mau saya persilakan masuk?" seorang pelayan datang dan bertanya padaku.
"Oh, biar aku saja yang ke sana menemui Ohno." aku buru-buru melepas celemekku. "Nee, Kazu. Aku ke depan menemui Ohno dulu ya. Bisa tolong siapkan bir yang ada di dalam lemari es? Untuk 5 orang ya."
"Ha-i, Ryoukai de-su!" Kazu menjawab sambil tersenyum.
"Onegai ne." kataku sambil berlari kecil menuju pintu.

.....

"Uwaahh, umaaii!!" Ohno setengah berteriak sambil menyesap bir dalam gelas yang dihidangkan Nino.
"Hei, belum waktunya minum-minum tau! Kamu baru datang langsung main samber aja." ujarku ketus melihat Ohno yang dengan santainya meneguk bir dingin.
"Santai sedikitlah, MatsuJun. Bir itu paling enak diminum sesaat setelah dihidangkan. Kalau menunggu nanti, keburu beda rasanya." jawab Ohno berkelit.
"Hahahaaa. Alesan ajaaa" Nino tergelak melihat kelakukan sahabat di depannya itu, "Dasar. Kayak Om-Om aja kamu", ledek Nino.

"Yo, Minna!! Aiba is in the house! Yo! Yo!" suara Aiba menengahi perdebatanku dengan Ohno dan menghentikan suara tawa Nino.
"Ooo, Aiba-shi irrashai!" Nino mengepalkan tangannya dan ber-high-five ria bersama Aiba.

Aku yang melihat Aiba hanya seorang diri, langsung mendekati Aiba.
"Nee, Aiba-chan, sendirian aja?" jawabku hati-hati. Rupanya memang mustahil mengajak Sho datang ke rumahku. Rupanya Sho benar-benar membenciku, aku tertunduk lemas.
"Oh iya, Sho-chan ada di teras. Tadi lagi buka sepatu, jadi kutinggal soalnya ada harum-harum pasta gitu, jadinya aku tidak sabar pengen buru-buru kesini." penjelasan Aiba membuat semangatku kembali muncul.
"Oh, berarti dia masih di teras ya." aku berusaha menyembunyikan kegiranganku agar suaraku tetap datar.
"Ah, kalau begitu aku ke teras dulu. Sho-chan kan baru pertama kali ke rumah MatsuJun. nanti dia salah jalan, rumahmu kan besar." Aiba terkekeh.
"Biar aku saja yang kesana, Aiba di sini saja." Aku buru-buru melesat menuju teras tanpa menunggu jawaban Aiba.

"Kalau begitu, kita kanpaaaiii!" Ohno mengangkat gelas birnya.
"Heh, Riida! Tunggu Sho dulu!" aku berteriak.
Aiba dan Nino tertawa terbahak-bahak melihat kelakuan temannya itu.

...... 

"Kemana sih si Aiba baka itu?! Aku ditinggal sendiri." kudengar suara Sho yang bersungut-sungut di teras depan.
"Irrashai, Sho-kun." aku tersenyum lebar melihat Sho yang sedang menyimpan sepatunya di rak.
"Hai." Sho melangkah memasuki koridor tanpa melihat ke arahku sedikitpun.
"Terima kasih kamu sudah datang." aku mencoba berbasa-basi.
"Jangan salah paham dulu, aku datang karena permintaan Aiba, bukan atas ajakan kau." Sho menjawab dengan ketus.
"Ii no. Asalkan kau mau datang aku sudah senang."aku mendahului Sho sambil menunjukkan ruang tempat kami berkumpul.
"Apa-apaan dia? Basa-basi segala." terdengar suara Sho yang merengut di belakangku.

KANPAAAAIIIII!!!

Lima gelas berisi bir dingin saling beradu dan kami pun segera menyesap minuman yang sudah sedari tadi ditunggu-tunggu ini.
"Uwaahhh, saiko! Rasanya sudah lama kita tidak ngumpul begini ya." Aiba kegirangan.
"Aiba-shi, jangan terlalu banyak minum, kamu nyetir kan pulangnya?" Nino memandang Aiba dengan sedikit tatapan khawatir.
"Nggak. Nanti pulangnya Sho-chan yang nyetir" Aiba nyengir ke arah Nino.
"Nino-chaann, aku suka kamuuuu" tiba-tiba Ohno menempelkan pipinya ke wajah Nino yang mulus dan putih. Nampaknya dia sudah mulai mabuk.
"Hei, hentikan, dekat sekali wajahmu itu tau!" Nino yang sebetulnya senang dengan perlakukan Ohno terlihat sedikit sungkan karena ada kami di hadapannya.
"Uuuuuhh, Nino kawaii deeh" Ohno tidak menggubris penolakan Nino dan semakin beringsut menempelkan badannya di tubuh kecil Nino.

Aku dan Aiba yang menyaksikan kegilaan dua teman kami hanya bisa terbahak-bahak sambil menuangkan bir ke dalam gelas lagi.

"Nee, Sho-kun mau makan pasta?" aku menghampiri Sho yang sedari tadi hanya duduk diam di pojokan melihat kami bercanda tawa.
"Pasta?" Sho balik bertanya.
"He-eh, aku tadi membuatkan pasta untuk kalian. Coba deh." aku menawarkan.
"Kamu memang bisa masak?" Sho mengerenyitkan keningnya.
"Bisa." jawabku pendek sambil menuangkan pasta dari piring besar ke piring saji yang lebih kecil.
"Semua makanan ini kamu yang masak?" Sho seolah tidak percaya.
"Yep! Douzo." jawabku sambil memberikan sepiring kecil pasta dengan topping mushroom sauce.
"Kupikir koki rumahmu yang masak, dan Tuan Muda hanya duduk-duduk santai saja." Sho menerima piring berisi pasta sambil mendelik ke arahku.

Mungkin kalau bukan Sho yang bilang, aku akan langsung marah dan menarik kerah bajunya ketika ada yang menyindirku dengan sebutan Tuan Muda. Jujur saja, aku tidak suka dengan panggilan itu, nampak begitu arogan kedengarannya. Apalagi nada Sho yang seolah mengejekku.
Tapi, karena Sho yang bilang, aku tidak bisa berbuat apa-apa dan hanya tersenyum.

"Oishi...." Sho melahap habis pasta yang kumasak dan melongo seakan tidak percaya aku bisa memasak pasta seenak itu. Aku senang melihat wajah Sho yang makan dengan lahap. Entah kenapa aku tidak bisa melepaskan pandanganku dari sosok Sho.

"Nee, Sho-kun. Soal tadi pagi di depan mini market," aku mulai memberanikan diri bicara, "Apakah kamu marah padaku dan membenciku?".

Sho tidak menjawab apa-apa, hanya menatapku lekat-lekat.
"Betsuni." jawab Sho pendek.
"Terus, kenapa kamu marah-marah seperti itu? Kalau aku memang pernah berbuat salah padamu, bilang saja. Aku tidak keberatan kok." ungkapku.
"Betsuni tte itendarou!!" Sho meninggikan nada suaranya.

Suara Sho yang meninggi membuat Aiba, Ohno dan Nino yang tengah bercanda menjadi hening seketika. Mereka bertiga langsung melihat ke arahku dan Sho yang saling berhadapan dengan wajah serius.

"Sho-chan, ada apa?" Aiba memandang Sho dengan khawatir.
Nino yang biasanya bawel hanya bisa memandang kami berdua, sedangkan Ohno langsung meletakkan gelas bir yang sedari tadi tidak bisa lepas dari genggamannya dan ikut-ikutan berwajah serius.

"Ah, tidak ada apa-apa. Maaf membuat kalian kaget. Iya, kan Sho-kun?" aku mencoba menenangkan ketiga temanku.

Sho hanya menarik napas panjang.

"Aku tidak marah padamu, kok. Aku juga tidak membencimu. Aku hanya sedikit kesal. Well, lumayan kesal sih kalau boleh jujur." tanpa basa-basi Sho mengungkapkan unek-uneknya di hadapan kami berempat.
"Kesal?" aku terheran-heran, "Ore nanka shita?" tanyaku.
"Aku kesal karena kamu merebut posisi teratas di hasil audisi akhir. Aku kesal karena kamu merebut kesempatanku untuk mendapatkan peran dan Go International ke Hollywood." Sho menjawab tanpa mengalihkan pandangannya sedikitpun.

"Sho-chaann, bukan salah MatsuJun kan? Mungkin kamu memang belum beruntung, atau belajar akting-nya masih perlu ditingkatkan..." Ohno tiba-tiba nimbrung dan mengungkapkan pendapatnya dengan hati-hati, agar Sho tidak tersinggung.

"Memang sih." Sho lagi-lagi menarik napas, "Tapi kenapa Tuan Muda yang selalu santai, nggak pernah terlihat belajar mati-matian, yang kerjaannya main-main melulu ini bisa mendapatkan peran utama dalam sebuah film bergengsi? Dan aku yang berjuang susah payah malah kalah darinya?!" Sho menjelaskan dengan panjang lebar sambil terus memandangku.

Aku yang mendengar semua penjelasan Sho tentu saja kaget dan tidak menyangka kalau Sho berpikir seperti itu. Aku hanya bisa memandang Sho tanpa berkata apa-apa.

"Sho-chan" Nino tiba-tiba angkat bicara.
"Hah?" Sho mendelik ke arah Nino.
"J memang terlihat santai, tapi dia juga serius lho kalo soal belajar akting. Dia itu kan orangnya perfectionist, stoic banget deh lah. Kalau aku mengajak dia main game, J selalu menemaniku di sebelahku sambil membaca buku tentang akting atau menghapalkan dialog." Nino bercerita panjang lebar.
"Ah, MatsuJun juga suka berdiskusi denganku mengenai beberapa peran-peran sulit atau cara berinteraksi dengan hewan-hewan supaya dia bisa berimprovisasi dalam akting. Walaupun sejujurnya aku selalu ketiduran kalau lagi diskusi bareng MatsuJun." Aiba terkekeh.
"Aku juga." Ohno menambahkan, "Aku juga suka bareng MatsuJun."
"Belajar akting juga?" Aiba bertanya pada Ohno.
"Nggak, minum bir bareng di kedai depan stasiun TV" jawab Ohno lempeng.
"Itu sih bukan belajar, BAKA! Nggak nyambung tau!" Nino menepuk kepala Ohno, perlahan, agar sahabatnya itu tidak kesakitan.

Kami berempat pun tergelak mendengar ocehan Ohno.
Hanya Sho yang diam dan hanya memandang kami satu persatu.

"Mungkin karena Sho-chan selama ini selalu belajar sendirian, jarang kumpul dengan kami, jadinya tidak begitu mengenal MatsuJun dan malah salah paham deh." Aiba tersenyum ke arahku dan Sho.

"Nah, sekarang semuanya sudah jelas kan? Sho-chan jangan kesal lagi ya, Ya? Ya? Ya?" Aiba mendekai Sho dan menepuk-nepuk bahunya dengan lembut. Kulihat Sho pun tersenyum ke arah Aiba. Senyum tulus Aiba terlihat begitu menghangatkan Sho dan ia pun luluh.

"YOSSSHHH!! Sekarang mari kita kanpaaii lagi!!" suara Ohno membuyarkan keheningan di antara kami.
"Ayo sini, Sho-kun" aku menarik lengan Sho agar membaur dengan kami dan ikut bersulang bersama-sama.
(Nah, gitu donk...akur)

”貴方の声が痛い程優しくて 泣いていた。
そしたら 貴方が「ナキムシ」だって言うから 「貴方もだよ」なんて言ってみたら
楽になってた 笑ってた。”
(Suaramu yang lembut itu terdengar begitu menyakitkan, aku pun menangis.
Lalu, kau bilang 'dasar cengeng' dan aku pun bilang padamu 'kamu juga'.
Rasanya lega, kita pun tertawa.)





(Auwooooo, pair Sakuraiba memang favoritku...tapi...di fanfic ini tetep dijadiin pair aja ato...atoooo....*senyum evil*
Di part ini nampak adem-adem dan damai aja, tapi ini baru permulaan. Konflik sebenarnya baru dimulai...muahahaaa *ketawa antagonis*)

 

 

No Rain No Rainbow (Part 1)

<Sho>

Kuremas kontrak kerja di dalam genggaman tanganku tanpa mengalihkan pandangan dari papan pengumuman audisi di lobi Stasiun Nippon Television, yang sejak pagi telah ramai dikerumuni para staff dan pengunjung lainnya. Kugigit bibir bawahku sambil menahan kesal ketika melihat nama-nama pemeran dalam film terbaru 'Beautiful World' yang lulus audisi akhir.

"Sial!"hanya satu kata itu yang bisa keluar dari mulutku.

Semakin aku melihat papan pengumuman, rasa kesalku semakin memuncak dan kuputuskan pergi dari tempat itu sebelum amarahkku benar-benar meledak dan kutendang papan pengumuman audisi itu.

"Minggir!", aku pergi dengan terburu-buru dan menepik staff lainnya yang menghalangi jalanku.

Kenapa?! Kenapa?! Susah payah aku berusaha mati-matian untuk audisi ini, tapi hasilnya? Aku tidak mendapatkan pemeran utama. Ya, hanya pemeran pembantu dalam film 'Beautiful World'. Semua waktuku, tenagaku, bahkan hobiku sudah kukorbankan demi mendapatkan peran utama. Jika aku bisa mendapatkan peran utama ini, jalanku menuju Hollywood akan terbuka lebar dan tawaran untuk bermain dalam film 'The Amazing Spiderman 3' pun tinggal menunggu waktu.

Supporting Actor sebagai sahabat baik Sang Pemeran Utama.

"Cih!", kutendang kaleng kosong yang menghalangi jalanku.

Orang yang mengalahkanku dan mendapatkan peran utama adalah seseorang yang amat sangat kubenci.

Matsumoto Jun.

Mengingat namanya saja sudah muak, melihat wajahnya pun akan membuatku frustasi, apalagi ketika aku mengetahui bahwa dia mengalahkanku dan menghancurkan impianku untuk pergi ke Hollywood.

Matsumoto Jun, aktor, model, penyanyi, dan tentunya satu grup denganku dalam ARASHI, selebriti populer tidak hanya di kalangan cewek-cewek, tapi cowok-cowok pun banyak yang kagum padanya, dalam arti positif tentunya. Bukan hanya itu, para sutradara dan produser di dunia entertainment pun menaruh harapan besar pada aktor bergaya cool itu.

Selain itu, dia kaya raya, ayahnya seorang pengusaha sukses, berlimpah harta, pergaulannya luas, semua hal yang dimilikinya akan membuat banyak orang iri.

Yang membuatku kesal adalah Jun tak pernah terlihat kesulitan, terutama dalam belajar akting. Jika waktu audisi sudah dekat, aku pasti kalang kabut belajar mati-matian. Semua hobi, waktu bermain dan kesenanganku akan kutunda demi bersabar hingga waktu audisi selesai.

Aku bisa sejajar dengannya dan aktor-aktor papan atas lainnya pun dengan usaha mati-matian. Ya, awalnya aku hanya seorang pemuda miskin yang mengandalkan usaha keras agar impianku menjadi selebriti papan atas dan Go International bisa terwujud. Kedua orangtuaku yang hanya petani di desa kecil dan tidak sanggup membiayaiku untuk mengikuti kelas-kelas akting atau sekolah-sekolah khusus lainnya. Aku juga tidak mau membebani mereka. Tapi, karena aku ingin nasibku berubah menjadi lebih baik, akupun berusaha sekuat tenaga.

Tapi, seorang Jun tidak perlu mengorbankan apapun. Dia tetap santai meskipun waktu audisi telah dekat. Pergi ke tempat audisi, hanya duduk-duduk sambil melamun mendengarkan penjelasan para staff atau sutradara, sesekali dia membolak-balik skenario tidak jelas, lalu pulang. Terkadang nongkrong dengan teman-temannya atau karaoke, setelah itu kembali ke rumah dan tidur. Begitu pula esok harinya, nampaknya rutinintas seorang Matsumoto Jun hanya begitu-begitu saja.

Tidak pernah kulihat dia mati-matian belajar, mencari data di perpustakaan, menghapalkan dialog,  atau bahkan mengikuti kelas akting hingga larut malam.

Tapi, DIA BISA MENGALAHKANKU! Dan mendapatkan PERAN UTAMA itu!!

Mengingat paran utama itu, rasa kesalku kembali muncul. Kutarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Kulirik mini market yang tidak jauh di depanku dan kuputuskan untuk membeli sekaleng kopi dingin untuk menenangkan pikiran.

Awalnya, kupikir Jun berbuat curang dengan kekayaan yang dimilikinya. Ia menyogok sutradara atau produser, mengancam mereka dengan kekuasaan ayahnya, atau cara kotor lainnya, agar Jun bisa selalu mendapatkan peran utama dengan mudah. Namun, semua itu ternyata hanya khayalanku dengan rasa iri belaka.

Setiap kali aku mengikuti audisi yang sama dengan Jun, ia selalu dapat menunjukkan aktingnya dengan baik atau lebih tepatnya brilian! Selalu dapat mengekspresikan berbagai macam peran seperti yang diminta sutradara. Semua peran yang harus kulatih berminggu-minggu dapat dilakonkan dengan cemerlang tanpa kesulitan berarti.

Kuteguk kaleng kopi latte hingga habis, lalu kulemparkan kaleng kopi yang telah kosong itu ke tempat sampah di luar mini market. Meleset, dan kaleng itu terhempas ke sebelah tong sampah.

"Bahkan melempar kaleng kosong saja aku meleset, sama seperti hasil audisiku.", keluhku sambil mengambil kaleng kopi kosong tadi dan memasukkannya ke tong sampah dengan benar. Aku pun berjalan lunglai menuju apartemen sambil menghela napas.

Selamat tinggal Hollywood, desahku.

 (Don't be sad, Sho-chan....)



<Jun>

"Yosh!", kukepalkan tanganku dan tersenyum lebar begitu melihat hasil audisi akhir yang terpampang di papan pengumuman kampus.

Pemeran utama : Matsumoto Jun

Aku sendiri pada awalnya tidak begitu berharap bisa mendapatkan peran utama. Bisa mendapatkan peran sebagai supporting actor saja sudah untung, pikirku. Yah, mungkin Dewi Fortuna sedang baik padaku, atau ada malaikat yang hinggap di pundakku saat audisi akhir kemarin.

Ungkapan yang terakhir, kudapat dari temanku yang selalu ceria, Aiba Masaki. Dia memang selalu bisa memikirkan hal-hal ajaib. Dasar, miracle boy.
Tanpa sadar aku cekikikan sendiri ketika mengingat teman baikku yang selalu ceria dan polos itu.

Sebelum pergi meninggalkan papan pengumuman itu, aku sempat melirik nama orang yang ada di bawah namaku, Sakurai Sho.
Hmmm, Sho yang satu grup dengaku di ARASHI adalah seorang yang rajin dan berambisi agar bisa Go International ke Hollywood dan kudengar sedang berjuang agar bisa ikut berperan dalam film 'The Amazing Spiderman 3' yang akan rilis dua tahun mendatang. Aku sering melihatnya datang paling awal saat audisi, mendengarkan dengan seksama penjelasan dan nasehat sutradara, mengerjakan semua tugas dan permintaan sutradara dengan baik dan tipe pekerja keras. Diam-diam aku kagum dengan ketelatenan Sho.

Baru saja aku memikirkan tentang Sho, secara kebetulan aku melihat orang yang kupikirkan barusan keluar dari sebuah mini market. Kulihat dia melempar kaleng kopi kosong ke tempat sampah, tapi meleset. Kesal karena lemparannya meleset, Sho mengacak-acak rambutnya untuk melampiaskan kekesalannya dan dengan bersungut-sungut berjalan menghampiri kaleng kopi yang meleset tadi untuk membuangnya ke tempat sampah dengan benar.

Aku tersenyum kecil melihat tingkahnya yang seperti anak kecil itu. Sho yang biasa kulihat selalu nampak serius dan tenang, tapi yang barusan itu benar-benar pertama kali kulihat. Sho rashikunainaa--, gumamku.

Kulihat ia berjalan gontai sambil tertunduk lesu. Aku yang saat itu memang sedang tidak punya tujuan, entah kenapa ingin menghampirinya.
Aku berlari kecil untuk mengejar langkah Sho yang tidak bersemangat itu.

"Yo!", sapaku sambil menepuk pundak Sho. "Kok lesu, Sho-chan?"

Yang disapa hanya menoleh dan memalingkan mukanya tanpa menjawab sedikitpun.

"Kenapa lesu? Audisi kan sudah selesai, harusnya kamu gembira karena kita bisa bersenang-senang sekarang." aku terus nyerocos tanpa memedulikan delikan mata Sho.
"Hey, Sho-chan, selamat untuk hasil audisi akhirmu ya. Kita sama-sama akan main di film Beautiful World. Uwaahhh--- aku senang bisa main film bareng Sho.." aku mengungkapkan rasa senangku pada Sho sambil tersenyum lebar.

Tapi bukannya tersenyum atau senang, Sho mendelikkan matanya dan memandangku dari atas ke bawah.

"Hmm?" aku mengangkat sebelah alisku.

Sho tiba-tiba menghentikan langkahku dan berhenti tepat di depanku. Ia memajukan wajahnya sehingga wajah kami jadi saling berdekatan.
Sho memandangku dengan matanya yang bulat dan sorotan tajam. Ia menggigit bibir bawahnya, seperti sedang menahan sesuatu.

"Eh, ada apa Sho?"

Sho hanya menarik napas panjang.

Aku semakin bingung.

Tiba-tiba Sho menarik kerah bajuku hingga wajahku semakin dekat dengan wajahnya.

"Dengar ya, Matsumoto Jun! Kamu tidak usah sok-sok akrab denganku. Kamu tidak usah sok senang karena akan main film bersamaku atau memuji-muji soal audisi. Kenapa?! Mau pamer, hah?! Mentang-mentang kamu mendapatkan peran utama? Dan aku hanya supporting actor yang selalu menjadi bayanganmu?!"

Aku melongo mendengar seorang Sho yang selalu tenang berteriak-teriak di hadapanku.

"Dan impianku mendapatkan peran di The Amazing Spiderman 3 serta Go International ke Hollywood pupus sudah. Kau puas sekarang, Matsumoto?!" Sho terengah-engah setelah meneriakkan kekesalannya padaku. Sho melepaskan cengkeramannya dan aku berusaha membetulkan letak kerah kemejaku yang tadi ditarik Sho.

"Eh, aku tidak bermaksud begitu. Aku justru kagum padamu, beda denganku yang tidak....." aku mencoba menenangkan Sho.

"Beda denganmmu?! Iya aku memang beda denganmmu yang jenius dan memiliki segalanya. Tanpa bersusah payah, kamu bisa mendapatkan peran utama. Beda denganku yang harus berusaha mati-matian!!!" Sho salah menangkap maksudku dan semakin berang.

"Sho...." aku mencoba menyentuh bahunya untuk menenangkannya.

"Minggir! Jangan sentuh aku! Dasar Tuan Muda Menyebalkan!" Sho menampik tanganku dan berbalik meninggalkanku.

Ketika aku bermaksud mengejar Sho untuk meminta maaf, tiba-tiba Sho membalikkan badannya, "Dan jangan sekali-kali memanggilku Sho-chan! Cuma Aiba yang boleh memanggilku begitu, BAKA!"

(Kalian harus akur, donk....)



”道の無い道を歩いてゆくのさ だって明日が来るOh yeah
悔しさの涙も虹に変わってるよ いつか雨は止むAll right”
(Ku berjalan di jalanan yang tidak nampak, lagipula hari esok akan datang oh yeah
Rasa kesal dan airmata itu pasti akan berganti, suatu hari hujan itu pun akan reda all right)
<Arashi - Dear My Friend>



(Yipiiii, my first fanfic akhirnya kelar juga. Tadinya pengen pair SatoJun, tapi entah kenapa malah jadi Sakumoto. Soalnya, Ohno ngga cocok jadi cowok rajin dan pekerja keras *digeplak Ohno*
Sho-chan maapkan akuuuu, harusnya yang galak itu MatsuJun. Tapi kali-kali pengen juga liat Sho galak :D)