Kutatap jalanan sepi itu, mataku menerawang, pikiranku kosong. Aku benar-benar tidak bisa berpikir lagi. Tubuhku kehilangan seluruh tenaga, aku tak sanggup lagi berjalan. Aku tak tahu harus kemana. Bingung, sedih, gusar, marah, semua menjadi satu.
Drrrrtttttt
Getar ponsel yang sedari tadi kupegang membuyarkan lamunanku. Kulihat sebuah nama di layar :
Nino.
13 panggilan tidak dijawab.
Dan semuanya dari Nino.
Saat ini dia adalah orang yang paling tidak ingin kutemui. Pikiranku kalut, tidak tahu harus bagaimana. Melihat namanya di layar ponselku, ingatanku pun kembali ke sebuah kejadian yang tak akan kulupakan beberapa jam yang lalu.
......
"Riida, kamu mau langsung pulang?" Aiba memanggilku yang hendak menuju pintu lift.
"Un." aku hanya menjawab pendek.
"Hari ini riida nampak tidak bersemangat. Kenapa?" Aiba berlari kecil menghampiriku dengan wajah khawatir.
"Tidak apa. Aku cuma mengantuk." kilahku berusaha menyembunyikan hal yang sebenarnya agar Aiba tidak khawatir.
Tanpa menunggu jawaban Aiba, aku pun segera menuju pintu lift dan kutekan tombol untuk lantai paling bawah dimana manajerku menunggu di tempat parkir basement.
Syuting Arashi ni Shiyagare kali ini cukup malam, karena aku dan Aiba kebagian syutin untuk segmen 'Ii Mise Kudoi Mise' yang memang seringnya syuting di luar studio hingga larut malam. Setelah syuting selesai, kami berkumpul lagi di stasiun televisi untuk membicarakan beberapa hal, lalu pulang.
Kulihat mobil van berwarna putih tak jauh dari pintu lift ketika aku keluar. Udara basement parkir yang menusuk membuatku harus mengancingkan jaket dan berlari kecil menuju mobil yang sedang menungguku.
"Otsukaresama." sapa manajerku.
"Otsukare", jawabku pendek.
"Kita langsung pulang ke rumah?" manajerku bertanya untuk memastikan.
"Ng...aku mau mampir dulu ke suatu tempat." jawabku agak ragu.
"Kemana, Ohno-san?"
"Mansion Nino." jawabku pendek.
Sambil menunggu mobil van yang kutumpangi tiba di tempat tujuan, aku mencoba membunuh waktu dengan memainkan ponselku. Beberapa site info tentang cuaca dan arah angin yang kubaca membuatku jadi ingin pergi memancing. Meski musim ini cukup dingin, tapi cuaca dan angin cukup mendukung untuk memancing.
"Apakah hari ini mau membahas soal syuting minggu depan dengan Ninomiya-san?" suara manajerku di kursi driver menghentikan keasikanku bermain ponsel.
"Tidak. Hanya ngobrol sebentar. Kalau Katsumi-san mau pulang duluan, tidak apa. Aku bisa pulang pakai taxi." tawarku pada manajer.
"Ah, tidak apa. Saya bisa menunggu." jawabnya sambil tetap memerhatikan jalanan di depan.
Aku sebetulnya ragu ketika bilang akan pergi ke mansion Nino. Tapi entah kenapa ada suatu keinginan besar yang membuatku ingin bertemu dengannya, ingin membicarakan suatu hal, dan ingin melihat langsung wajahnya.
Aku masih belum tahu apa yang akan kukatakan nanti ketika bertemu dengan Nino. Aku bahkan tidak meneleponnya terlebih dahulu dan memberitahunya bahwa aku sedang dalam perjalanan menuju mansionnya. Siapa tahu Nino masih syuting dorama dan belum pulang.
Ah, kalau dia tidak ada di rumah, itu akan lebih baik untukku. Semoga.
........
"Matsuyama Kenichi?" tanyaku.
"Iya, kamu ingat kan? Itu yang main bareng denganku di film GANTZ." jawab Nino dengan semangat.
"Kalian pergi camping berdua saja?" tanyaku heran dan sedikit curiga.
Curiga? Entahlah, mungkin itu kata yang paling tepat. Begitu mendengar Nino pergi camping berdua dengan MatsuKen, rasanya aku merasa begitu insecure. Ada rasa tidak aman yang menelusup dan membuatku jadi tidak nyaman. Kalau pergi dengan Aiba, mungkin tidak aneh. Tapi dengan MatsuKen?
Dan lagi, Nino adalah tipe orang yang paling anti dengan aktivitas outdoor. Bahkan, dia selalu menolak ketika aku mengajaknya memancing, dengan alasan mabuk laut, menolak saat Jun mengajaknya surfing, menolak saat Aiba mengajaknya mengelilingi kebun binatang, dan menolak saat Sho memintanya menemani hiking ke gunung.
Tapi barusan, Nino dengan antusias bercerita kalau ia pergi camping dengan MatsuKen?!
"Sudah berapa lama?" aku bertanya tanpa basa-basi.
"Eh? Apa?" Nino kebingungan.
"Sudah berapa lama kamu berhubungan dengan MatsuKen?!" jawabku sedikit meninggikan suara dan maju beberapa langkah mendekati Nino.
"Eh? Aku tidak mengerti maksudmu, Riida." Nino memalingkan wajahnya dari pandanganku dan mundur beberapa langkah agar aku tak bisa mendekatinya.
Kebiasaan Nino adalah selalu tidak mau menatap orang di depannya ketika ia menyembunyikan sesuatu, apalagi dengan gesture ia mundur menjauhiku, itu artinya Nino tidak ingin aku bisa meraihnya dan memasuki privasinya. Itu yang pernah kudengar dari Sho.
"Kenapa? Kamu tidak suka lagi padaku? Kamu sudah bosan, Nino?" aku mencoba menenangkan suaraku agar terdengar datar.
Nino tidak bergeming.
"Jawab, Nino! Apa saja yang sudah kamu lakukan dengan MatsuKen?!" akhirnya kesabaranku hilang, "Aku sudah curiga semenjak kalian syuting bersama dalam film GANTZ. Kedekatan kalian tidak biasa, tidak lazim." ungkapku.
"Memangnya kedekatanku denganmu bisa dibilang biasa? Bisa disebut lazim?!" sanggah Nino.
Aku terdiam.
"Tapi...tapi, aku tulus. Aku bersungguh-sungguh, Nino." aku memelas
Nino tidak menjawab.
"Lagipula....MatsuKen sudah menikah dengan Koyuki, bukan? Kamu mau menghancurkan hubungan mereka?" nampaknya kata-kataku cukup menohok perasaan Nino.
Nino hanya menatapku dengan sorot matanya yang tajam. Sorot yang menyeramkan yang tidak akan ditemukan dalam aktinynya di film manapun.
Tanpa berkata apa-apa, Nino pergi meninggalkanku dan sejak saat itu aku tidak bertemu lagi dengannya.
............
"Sudah sampai." suara manajerku dari kursi depan lagi-lagi membuyarkan lamunanku.
"Oh, iya. Thanks. Katsumi-san pulang saja duluan." pintaku.
"Tapi..." manajer nampak ragu-ragu meninggalkanku.
"Tidak apa. Tenang saja, kalaupun kemalaman, aku bisa menginap di mansion Nino. Nanti kukabari lagi." jawabku berusaha menenangkan manajer. Walaupun nampaknya mustahil aku akan menginap di mansion Nino mengingat kejadian beberapa hari lalu itu.
"Baiklah. Selamat malam." manajer pun melesat pergi.
Kalau saja aku bisa memutar waktu, inginku kembali ke hari-hari dimana aku dan Nino selalu bersama. Kalau saja manajerku masih menungguku di depan mansion, mungkin aku akan mengurungkan niatku untuk pergi ke mansion Nino. Meski kini aku telah berada di depan pintu mansion dan tinggal kutekan bel, maka Nino mungkin akan keluar.
Itupun kalau dia masih mau bertemu denganku.
"Are? Ohno-kun?" suara seorang pria dari belakang mengagetkanku.
"Ryo-kun" ternyata Nishikido Ryo yang tadi memanggilku.
"Konbanwa." sapanya sopan, "Nino? Kebetulan aku juga baru saja dari mansion Nino, mengembalikan game yang kupinjam."
"Konbanwa." jawabku, "Iya, aku baru saja mau menekan bel."
"Errr, mungkin Nino sudah tidur. Sebaiknya kau datang besok saja." Ryo nampak ragu.
"Kenapa?" tanyaku heran.
"Ah, tidak. Lebih baik besok saja. Siapa tahu Nino sedang tidak mau diganggu. Ya? Ya? Ya?" gelagat Ryo semakin membuatku curiga.
"Kenapa sih? Aku mau ketemu sekarang." tukasku ketus.
"Tapi...tapi..." Ryo yang melihatku hampir mengetuk pintu tiba-tiba berdiri di depan pintu mansion dengan menghadap ke arahku. Seperti mencoba menghalangiku untuk masuk.
"Kamu kenapa sih, Ryo-kun?!" aku menghardik Ryo dan berusaha meraih kenop pintu agar bisa masuk, meskipun ragu karena pintu itu bisa saja dikunci.
"Oke. Oke. Tidak apa. Kita masuk sama-sama ya. Aku juga kebetulan mau mengambil barang yang ketinggalan." akhirnya Ryo menyerah dan membukakan pintu yang ternyata memang tidak dikunci.
Ryo masuk ke koridor mansion setelah sebelumnya melepas sepatu sneaker-nya dan aku ikut mengekor Ryo hingga ruang tengah.
"Eee, Nandeeee? Yada yooo" kudengar suara Nino yang manja di ruang tengah, seperti sedang berbicara dengan seseorang.
"Hahaha, Nino cute deh.." suara bariton yang kukenal menjawab candaan Nino. Aku sedikit berpikir untuk mengingat-ngingat suara milik siapa barusan.
"Ng...kalian....It's not good..." Ryo berhenti di ruang tengah sambil menatap Nino dengan seseorang pemilik suara bariton tadi.
Matsuyama Kenichi.
Aku ingat! Suara bariton itu milik MatsuKen yang artinya.....dia sekarang ada di sini, di mansion Nino, berdua saja, dan tengah malam.
Kulihat Nino dan MatsuKen duduk berdua di sofa; Nino mengecup bibir MatsuKen begitu mesranya. Seperti sepasang kekasih yang begitu intim.
Kepalaku terasa berat dan bagaikan disambar petir meihat pemandangan menyakitkan itu. Aku memang sudah tahu kalau Nino selingkuh dariku dan berhubungan dengan MatsuKen. Bahkan yang paling buruk, aku sering membayangkan Nino dan MatsuKen berduaan di mansion, tengah malam, bercumbu atau mungkin tidur bersama.
Tapi, ketika aku menyaksikannya secara langsung, entah kenapa dunia sekelilingku menajdi gelap.
"Riida..." Nino hanya menatapku.
"Nino, kau....teganya....." aku ingin marah tapi hanya kata-kata itu yang keluar dari bibirku.
Marah, kesal, sedih semua bercampur satu. Ingin rasanya kuteriakkan semua amarahku pada mereka berdua sejadi-jadinya, tapi entah kenapa tenagaku hilang. Semua kata-kata dan umpatan yang kusiapkan seperti menguap entah kemana.
Lunglai, aku membalikkan badanku dan meninggalkan mansion Nino dengan langkah terseok-seok. Tidak ada air mata setetespun yang keluar, aku benar-benar tidak berdaya.
"Ohno-kun!" Ryo berusaha mencegahku pergi tapi segera kutampik tanganya dan pergi meninggalkan mereka semua.
........
Drrrttttttt
Lagi-lagi ponselku bergetar. Nino. Dia menelepon lagi.
Tidak ada sedikitpun keinginan untuk mendengar suaranya saat ini, apalagi setelah kejadian tadi. Aku masih duduk sendiri di tengah taman, setelah keluar dari mansion Nino. Tidak ada keinginan untuk pulang. Aku bingung apa yang harus kulakukan.
Drrrtttttt
Kali ini sebuah e-mail masuk. Apa Nino lagi? Kenapa sih dia? Apalagi yang mau dibicarakan? Sudah jelas-jelas kan aku melihatnya langsung tadi dia berduaan dengan MatsuKen.
MatsuJun.
Nama pengirim e-mail itu membuatku mau tak mau membuka e-mail yang tadi masuk ke ponselku.
「Riida, kamu sudah di rumah? Sudah tidur ya? Tadinya aku mau menelepon, tapi takut kalau kamu sudah tidur. Ada yang ingin kubicarakan soal koreografi yang kemarin.」
Seperti mendapat secercah harapan, aku langsung menelepon MatsuJun. Ya, saat ini aku butuh berbicara dengan seseorang, dan MatsuJun-lah orang yang tepat.
Kucari namanya di dalam daftar kontak, lalu kutekan tombol "Call". Terdengar beberapa kali nada sambung sebelum akhirnya diangkat.
"Riida? Hey, kamu belum tidur? Maaf mengganggummu." tanya suara ramah di seberang sana.
"Kamu di mana?" tanyaku.
"Di rumah sih. Kenapa?" jawabnya.
"Aku kesana, boleh?" pintaku.
"Huh?" Jun terdiam sesaat, "Ya sudah, boleh sih. Ada apa Riida?"
"Aku ke sana sekarang ya. Jya ne."
"Ok." kata laki-laki beralis tebal itu.
(Haruskah mereka berakhir......?)
"Astaga...Riida!" MatsuJun bengong menatapku saat ia membuka pintu rumahnya, "Kamu parah sekali....masuk."
Dengan sopan MatsuJun mengantarku hingga ke kamarnya dan menutup pintu.
"Duduk dulu, sebentar aku buatkan minum ya." Ia menuntunku ke arah sofa di kamarnya kemudian keluar kamar untuk mengambilkan segelas teh hangat untuk menenangkanku.
"Minum dulu, Riida." Jun menyodorkan mug berisi ocha hangat yang masih mengepul. Tercium aroma green tea yang pekat namun menenangkan. Kusesap perlahan teh tersebut.
MatsuJun memerhatikanku dengan prihatin, alis tebalnya bertautan. MatsuJun duduk tepat di sebelahku. Ia mengenakan T-shirt putih dengan beberapa gambar abstrak di depannya dan celana panjang katun garis-garis berwarna hitam. Terdengar suara berita tengah malam dari televisi ruang tengahnya.
"Kamu tidak kemana-mana?" tanyaku.
"Nggak. Aku habis syuting dorama, capek. Jadi di rumah saja." jawabnya tanpa melepaskan pandangannya dariku. Kemudian ia menggeleng-gelengkan kepala.
"Kenapa? Aku terlihat menyedihkan, ya?" aku memaksa diriku tersenyum. Aku yakin pasti wajahku saat ini kusut tidak karuan, seperti hidup segan mati tak mau. Semua kekalutanku pasti tergambar jelas di wajahku. Apalagi seorang MatsuJun yang kukenal sangat care dan memperhatikan hal-hal yang detail, pasti keadaanku tidak akan luput darinya.
"Nggak. Biasa aja." MatsuJun mengangakat bahunya. "Ada apa, Riida?"
Aku menghela napas panjang. Kembali kusesap green tea dari mug yang kugenggam. Aku sudah lebih tenang sekarang.
"Nino?" tembaknya.
Aku mengangguk. Pikiranku kembali melayang pada kejadian saat di mansion Nino beberapa waktu lalu. Bagaimana kulihat Nino begitu mesranya bersama MatsuKen. Tiba-tiba mataku memanas dan kurasakan cairan hangat mengalir di pipiku.
Jun mengambil mug di tanganku, meletakkannya di atas meja. Setelah itu ia merentangkan tangannya dan dalam sekejap aku telah tenggelam dalam pelukan hangatnya. Air mataku membanjiri, aku mulai tersedu-sedu.
"Menangislah, Riida. Menangislah sepuasmu, tumpahkan semua kesedihan dan kemarahanmu." Jun mengelus punggungku dengan lembut.
Jun memundurkan tubuh untuk menatap dan memerhatikanku.
Kami bertatapan lama. Kucondongkan tubuhku ke arah wajahnya, dan kukecup perlahan bibirnya. Ia berusaha mencegahku, tapi aku tidak mau melepasnya. Sejurus kemudian, kami telah berciuman dengan hangat, mungkin lebih tepatnya aku yang memaksanya seperti itu. Seluruh tubuhku sangat merindukan sentuhan-sentuhan lembut seperti ini.
Ciuman hangat dan lembut bersama MatsuJun, semakin lama semakin membuatku bergairah. Irama gerakan kami yang perlahan membuatku semakin tidak sabar, aku pun mendorong Jun hingga terlentang di atas sofa; lalu aku berlutut dengan perutnya di antara kedua kakiku.
"Hey, jangan, Riida...Stop, aku..."
Tak kupedulikan ucapannya, kubungkam bibirnya dengan ciuman. Kulumat bibirnya dan mendorong lidahku, tercium aroma kopi. Aku memaksa Jun untuk mengikuti apa mauku. Napasku mulai terengah. Lama kelamaan Jun mulai mengikuti kecepatan gerakanku, ia mendekapku erat-erat, menekan punggungku, bagian depan tubuhku melekat sempurna, sehingga aku bisa merasakan seluruh lekuk serta tonjolan dari tubuhnya, dari dada sampai ke pangkal paha.
Tapi....
Jun memegang pipiku, dengan lembut menjauhkan kepalaku dari kepalanya, sehingga hidung kami kini bersentuhan.
"Stop it, Riida." bisiknya lembut sembari terengah-engah.
"Kenapa? Ada yang salah?" tanyaku lirih setelah berhasil mengatur napas.
"Iya, ini salah." Jun mengusap kepalaku dengan lembut, lalu memberi isyarat agar aku menyingkir dari tubuhnya. Aku menurut dengan semakin banyak pertanyaan dalam kepalaku. Apa yang salah?
Jun duduk di sampingku, menatapku lekat-lekat. Aku tak bisa memahami apa yang kurasakan saat ini. Marah, sedih, benci, kecewa, sakit hati, semua campur aduk.
Setelah Nino mencampakkanku, sekarang MatsuJun menolakkku.
"Kenapa? Kenapa Jun? Kamu tidak menginginkanku?" tanyaku dengan suara parau.
"Ssshh." Jun meletakkan jari telunjukknya di bibirku. "Bukan. Bukan begitu."
"Jadi kenapa?"
"Riida, ini bukan saat yang pas. Kamu bingung, kamu sedang marah. Yang kamu butuhkan bukan ini. Belum yang ini, Okay?" ia mengelus-elus kepalaku dengan lembut. "Ceritalah, Riida. Ceritakan apa yang membuat kamu datang kesini."
Aku menarik napas panjang. Seluruh gairahku menguap seketika. Terbayang kembali kejadian di mansion Nino tadi.
"Aku...aku tidak tahu harus mulai cerita dari mana." isakku.
"Cerita saja, aku akan mendengarkan." jawab MatsuJun lembut.
Aku tahu, sebetulnya MatsuJun saat ini sedang dekat dengan Sho dan dia tidak mau mengkhianatinya, sehingga tadi dia menolakku. Atau, mungkin MatsuJun benar, bukan itu yang kubutuhkan sekarang ini. Entahlah mana yang benar, aku benar-benar tidak bisa berpikir jernih.
Kutatap wajah MatsuJun yang lembut. Dalam sekejap meluncurlah kalimat demi kalimat dari bibirku. Kuceritakan semuanya. Semuanya. Jun terus mendengarkanku, tanpa memotong sekalipun. Ia mendengar. Aku merasa nyaman, aku merasa diperhatikan dan dipedulikan.
Aku begitu merindukan seseorang yang memerhatikanku seperti ini.....
Jun duduk di sampingku, menatapku lekat-lekat. Aku tak bisa memahami apa yang kurasakan saat ini. Marah, sedih, benci, kecewa, sakit hati, semua campur aduk.
Setelah Nino mencampakkanku, sekarang MatsuJun menolakkku.
"Kenapa? Kenapa Jun? Kamu tidak menginginkanku?" tanyaku dengan suara parau.
"Ssshh." Jun meletakkan jari telunjukknya di bibirku. "Bukan. Bukan begitu."
"Jadi kenapa?"
"Riida, ini bukan saat yang pas. Kamu bingung, kamu sedang marah. Yang kamu butuhkan bukan ini. Belum yang ini, Okay?" ia mengelus-elus kepalaku dengan lembut. "Ceritalah, Riida. Ceritakan apa yang membuat kamu datang kesini."
Aku menarik napas panjang. Seluruh gairahku menguap seketika. Terbayang kembali kejadian di mansion Nino tadi.
"Aku...aku tidak tahu harus mulai cerita dari mana." isakku.
"Cerita saja, aku akan mendengarkan." jawab MatsuJun lembut.
Aku tahu, sebetulnya MatsuJun saat ini sedang dekat dengan Sho dan dia tidak mau mengkhianatinya, sehingga tadi dia menolakku. Atau, mungkin MatsuJun benar, bukan itu yang kubutuhkan sekarang ini. Entahlah mana yang benar, aku benar-benar tidak bisa berpikir jernih.
Kutatap wajah MatsuJun yang lembut. Dalam sekejap meluncurlah kalimat demi kalimat dari bibirku. Kuceritakan semuanya. Semuanya. Jun terus mendengarkanku, tanpa memotong sekalipun. Ia mendengar. Aku merasa nyaman, aku merasa diperhatikan dan dipedulikan.
Aku begitu merindukan seseorang yang memerhatikanku seperti ini.....
(Ternyata Riida...kamuuu... *waktu sama Nino gitu nggak ya? plaakk*)
”涙を溜めた 夜空の星 どこへ流れて 消えるのだろう
違う道を選んだけれど 声が 聞こえる気がするよ 君の”
(Air mata yang menggenang dan bintang di langit malam kemanakah akan mengalir dan hilang
Meskipun kita memilih jalan yang berbeda, tapi aku bisa mendengar suaramu)
<Arashi - Tears>
(Iyesssss, pair SatoJun mau diapain nih? Apa tetep setia aja sama Sakumoto ya? *smirk*
Aiba masih pending nih, bingung mau diapain.....)
No comments:
Post a Comment